Tuesday, March 02, 2010

Persoalan-persoalan Kepustawanan Sebagai Konsekuensi Terbitnya UU 43 tahun 2007: Masukan untuk Perpusnas RI

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.
Pustakawan Utama di Perpustakaan IPB
rahman@ipb.ac.id

Pendahuluan
Sebagaimana kita semua maklumi bahwa Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan telah diterbitkan pada 1 November 2007. Terlepas dari pro dan kontra tentang isi dari UU ini, maka terbitnya UU ini tentu saja menjadi berita gembira bagi kalangan pustakawan, karena UU ini membawa harapan baru bagi pengembangan kepustakawanan Indonesia. Namun, selain membawa harapan baru, terbitnya UU ini juga membawa konsekuensi yang juga harus disikapi oleh pustakawan, termasuk Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga pembina perpustakaan dan pustakawan di Indonesia. Selain terbitnya Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 yang tentu berimplikasi terhadap perkembangan perpustakaan, maka perpustakaan juga menghadapi banyak tantangan sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi antara lain seperti: (1) perubahan peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan misalnya tentang Otonomi Daerah; (2) perubahan struktur organisasi perpustakaan daerah yang semula perpustakaan berdiri sendiri menjadi bergabung dengan kantor kearsipan; (3) perubahan kurikulum dan sistem pembelajaran di lingkungan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi; (4) perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, yang mempengaruhi pola pencarian informasi para pemustaka; serta (5) membaiknya kondisi ekonomi Indonesia yang membawa dampak kepada membaiknya iklim perbukuan yang tentu saja berimplikasi terhadap perkembangan perpustakaan, dan lain sebagainya.

Persoalan yang harus segera diatasi
Sebagaimana disampaikan pada pendahuluan bahwa berlakunya UU 43 tahun 2007 memunculkan persoalan-persoalan baru yang menjadi tantangan bagi Perpustakaan Nasional RI. Persoalan yang harus segera dipecahkan atau dicarikan solusinya antara lain adalah:
1. Revisi Kepmenpan
Menurut pasal 1 UU 43 tahun 2007 mengenai ketentuan umum menyebutkan bahwa Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Pustakawan merupakan bagian dari tenaga perpustakaan yang dimandatkan oleh Undang-undang untuk dibuatkan Peraturan Pemerintahnya (pasal 11 ayat 1 dan ayat 2). Memang, Peraturan Pemerintah mengenai Standar Tenaga Perpustakaan belum disahkan, namun draft RPP ini sudah mencapai tahap akhir, sehingga diasumsikan secara substansial tidak akan mengalami perubahan yang mendasar. Oleh karena itu RPP ini tetap harus dipertimbangkan dalam mengantisipasi perubahan atau perkembangan kepustakawanan di masa depan. Pada RPP disebutkan bahwa gerbang masuk (entri point) kepada profesi Pustakawan dimulai dari tingkat Sarjana (Sarjana Perpustakaan ataupun Sarjana bidang lain ditambah pendidikan perpustakaan). Bagi pustakawan yang berada di lingkungan pegawai pemerintah, ini merupakan masalah baru yang harus segera diselesaikan. Pada saat ini sebagian besar tenaga pustakawan fungsional adalah berpendidikan Diploma dengan jabatan pustakawan terampil (61 %). Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah yang baru nantinya maka Kepmenpan 132/KEP/M.PAN/2002 harus segera direvisi menyesuaikan dengan pasal-pasal yang ada pada Peraturan Pemerintah.
Untuk merevisi Kepmenpan tersebut perlu dipertimbangkan hal-hal sbb:

a) Sesuai dengan PP yang nantinya akan diberlakukan, maka pustakawan adalah semua pustakawan sekarang ini yang berpendidikan sekurang-kurangnya S1 atau D-IV. Lalu, bagaimana dengan PNS yang berada pada posisi pustakawan terampil? Menurut saya pustakawan terampil harus disesuaikan (inpassing) menjadi pustakawan ahli dengan syarat bahwa yang bersangkutan dalam waktu tertentu (misalnya 10 tahun) harus mendapatkan pendidikan S1 bidang ilmu perpustakaan (atau D-IV). Jika sesudah 10 tahun yang bersangkutan masih belum bisa memenuhi persyaratan tersebut, maka yang bersangkutan dikembalikan menjadi ?teknisi perpustakaan?. Alasan untuk melaksanakan hal seperti ini adalah karena pustakawan yang menduduki jabatan fungsional pada saat ini adalah pustakawan yang terkena peraturan baru (UU 43/2007) sehingga kepada semua pustakawan harus diberikan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan pustakawan sesuai dengan perubahan Kepmenpan sebagai akibat terbitnya UU 43. Kasus ini ada padanannya yaitu pada saat diberlakukan Kepmenpan nomor 18 tahun 1988, maka semua PNS yang bekerja di perpustakaan dengan masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun diberi kesempatan untuk menjadi pustakawan melalui proses penyesuaian atau inpassing. Dengan demikian kasus ini dapat dijadikan semacam ?jurisprudensi? bagi terbitnya Kepmenpan baru pasca UU 43 nantinya.

b) Pekerjaan pada butir kegiatan pustakawan terampil dalam Kepmenpan 132/2002 nantinya akan menjadi pekerjaan tenaga teknis perpustakaan dengan nama jenis tenaga ?asisten pustakawan? ataupun ?teknisi perpustakaan?. Jenis tenaga ini menggantikan posisi pustakawan terampil. Bila dimungkinkan maka ?teknisi Perpustakaan? ini dapat diusulkan menjadi jabatan fungsional dengan sifat-sifat yang sama dengan fungsional umum dimana kenaikan pangkat dan jabatan tidak memerlukan angka kredit dan dapat naik secara reguler sesudah memenuhi persayaratan administrasi yang ditentukan.

c) Draft revisi Kepmenpan 132/KEP/M.PAN/2002 harus segera digarap dengan harapan ketika Peraturan Pemerintah tentang standar tenaga perpustakaan tersebut diterbitkan, maka revisi Kepmenpan sudah siap diterbitkan juga.

d) Revisi Kepmenpan ini juga harus menyeluruh, artinya selain masalah persyaratan untuk menjadi pustakawan, juga harus merevisi butir-butir kegiatan pustakawan. Selain karena perubahan status jabatan pustakawan yang tadinya terdiri dari dua jenis yaitu pustakawan terampil dan pustakawan tingkat ahli, juga perubahan ini perlu mempertimbangkan kemajuan dan perkembangan teknologi di perpustakaan.

2. Nasib pendidikan Diploma Perpustakaan
Seperti diketahui dalam rancangan Peraturan Pemerintah, syarat untuk mendapatkan status pustakawan adalah sekurang-kurangnya mendapatkan pendidikan S1/Diploma IV bidang perpustakaan atau S1/IV bidang non perpustakaan ditambah dengan pendidikan perpustakaan. Pasal ini akan berimplikasi kepada nasib pendidikan Diploma bidang perpustakaan di masa depan. Saat ini semua pendidikan diploma perpustakaan adalah pada jenjang diploma III. Apakah pendidikan diploma III ini akan berlanjut, ataukan harus ditutup, atau dijadikan perpustakaan pendidikan diploma IV? Jika berlanjut pada jenjang pendidikan diploma III, maka lulusan pendidikan diploma III perpustakaan ini akan mengisi lowongan ?teknisi perpustakaan? yang banyak diperlukan oleh perpustakaan-perpustakaan ?kecil? seperti perpustakaan Sekolah Dasar, perpustakaan umum desa dan kelurahan, perpustakaan umum tingkat kecamatan dan lain-lain. Namun demikian, Perpustakaan Nasional RI bersama-sama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi serta Perguruan Tinggi penyelenggara pendidikan diploma perpustakaan harus merancang jalur pendidikan lanjutan (further education) bagi lulusan program diploma ini untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Misalnya harus menghidupkan pendidikan Diploma IV bidang perpustakaan. Tentu dengan persyaratan tertentu yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, maka pendidikan tingkat diploma III perpustakaan tidak harus ditutup, namun justru harus dikembangkan mengingat kebutuhan tenaga ?teknisi perpustakaan? di seluruh Indonesia pasti sangat besar. Di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, 32.962 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, dan 17.792 Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah serta Sekolah Menengah Kejuruan. Jumlah seluruh sekolah tingkat dasar dan menengah tersebut adalah 219.785 sekolah3. Jika sekurang-kurangnya diperlukan satu orang ?teknisi perpustakaan? saja untuk masing-masing sekolah, maka seluruh sekolah tersebut memerlukan sebanyak 219.785 orang ?teknisi perpustakaan?. Ini belum menghitung jumlah ?teknisi perpustakaan? yang dibutuhkan di perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan umum propinsi, kabupaten kota dan perpustakaan kecamatan, bahkan Perpustakaan Nasional RI. Jumlah ini akan sangat sulit dipehuhi oleh program studi ilmu perpustakaan yang tersebar di 22 perguruan tinggi di Indonesia4. Saat ini jumlah perpustakaan yang ada adalah sejumlah 134.337 perpustakaan yang terdiri dari Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum (Desa/Kelurahan dan Kabupaten/Kota), Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi Perpustakaan Provinsi, dan Perpustakaan Khusus. Jumlah Pustakawan Fungsional (PNS) adalah sebesar 2.792 orang. Jumlah ini sangat jauh dari kondisi ideal yang diperlukan oleh Indonesia. Karena itu adanya UU 43 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah yang akan segera diterbitkan, justru menjadi tantangan bagi perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan tenaga yang harus dipekerjakan di perpustakaan-perpustakaan Indonesia. Untuk itu Perpustakaan Nasional RI harus menyusun ?grand design? bagi pengembangan pustakawan melalui pendidikan tinggi. Grand Design ini dapat diajukan kepada Pemerintah untuk dibiayai baik melalui APBN maupun melalui dana sponsor dari luar negeri (baik melalui dana hibah atau grant ataupun melalui dana pinjaman atau loan). Hal ini sangat penting bagi pengembangan perpustakaan Indonesia di masa depan. Bukankah dalam UU 43 pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan perpustakaan (pasal 7 ayat 1 butir a dan b; pasal 15 ayat 1, 2)? Dengan demikian, jika pemerintah menginginkan agar penyelenggaraan perpustakaan tersebut dapat berjalan dengan baik, maka pemerintah juga berkewajiban untuk menyediakan tenaga pustakawan yang menjadi salah satu inti dari kegiatan perpustakaan (pasal 15 ayat 3).
Untuk kebutuhan teknisi perpustakaan (tenaga perpustakaan menurut istilah Permendiknas nomor 25 tahun 2008) lulusan D2 ini masih diperlukan seperti disebutkan pada lampiran Permendiknas nomor 25 tahun 2008 butir 2a yang menyebutkan bahwa ?Kepala perpustakaan sekolah dan madrasah harus memenuhi salah satu syarat berikut: a. Berkualifikasi diploma dua (D2) Ilmu Perpustakaan dan Informasi bagi pustakawan dengan masa kerja minimal 4 tahun?. Yang menjadi masalah adalah tidak ada perguruan tinggi penyelenggara pendidikan perpustakaan yang menyelenggarakan program D2, karena memang Direktorat Pendidikan Tinggi tidak lagi mengijinkan program D2 (?). Jika demikian halnya, maka harus dilakukan program khusus (crash program) untuk memenuhi kebutuhan ini. Program ini harus melibatkan Kementrian Pendidikan Nasional, Perpustakaan Nasional dan Perguruan Tinggi penyelenggara program diploma perpustakaan.

3. Masalah kompetensi, sertifikasi profesi dan tunjangan profesi pustakawan.
Tenaga perpustakaan menurut UU 43 2007 terdiri dari pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan. Tenaga perpustakaan ini dimandatkan agar dibuatkan standar dalam bentuk peraturan pemerintah tentang standar tenaga perpustakaan (pasal 11 ayat 1). Masalah kompetensi pustakawan memang tidak diatur secara tegas dalam UU 43 2007, namun dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 huruf d disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan standar tenaga perpustakaan juga mencakup kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi. Dengan penjelasan ini maka Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga regulator harus menyiapkan perangkat aturan yang menyangkut standar akademik, standar kompetensi dan sertifikasi profesi bagi pustakawan. Saat ini Perpustakaan Nasional RI memang sudah membentuk Panitia Teknis untuk standar kompetensi pustakawan, dan tim ini sudah bekerja. Namun dengan mandat UU 43 2007, maka tim ini harus berpacu dengan waktu untuk segera menyelesaikan konsep atau draft standar kompetensi sehingga dapat segera disahkan sebagai aturan atau regulasi bagi pustakawan secara keseluruhan baik pustakawan PNS maupun non PNS. Yang perlu diperjuangkan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah implikasi sesudah diberlakukannya sertifikasi profesi pustakawan yaitu agar pustakawan yang memiliki sertifikasi profesi mendapatkan imbalan dalam bentuk tunjangan profesi sebagaimana profesi guru dan dosen. Bukankah pustakawan berada dalam ranah yang sama dengan guru dan dosen yaitu dalam ranah pendidikan?

4. Hubungan mekanisme kerja antara pejabat struktural dengan fungsional
Sejak tahun 1988 pustakawan sudah diakui sebagai jabatan fungsional, khususnya pustakawan yang bekerja sebagai PNS, yaitu dengan terbitnya Kepmenpan nomor 18 tahun 1988. Pada sebagian perpustakaan, khususnya di perguruan tinggi, jabatan pustakawan ini menjadi pilihan karir bagi banyak PNS. Namun, pada sebagian perpustakaan lain, khususnya pada perpustakaan pemerintahan, baik propinsi maupun kabupaten/kota, bahkan di Perpustakaan Nasional RI sendiri jabatan pustakawan bukan merupakan pilihan pertama bagi pengembangan karir mereka. Sebagian besar PNS di sama masih mendambakan jabatan sturktural. Mengapa? Ini karena beberapa hal antara lain:
a) Jabatan pustakawan tidak menjanjikan imbalan materi yang memadai dibandingkan dengan jabatan struktural. Tunjangan jabatan Pustakawan Utama (jabatan tertinggi pada jenjang pustakawan) hanya Rp. 700.000,-, sedangkan tunjangan jabatan struktural eselon I bisa sebesar Rp. 5.500.000,-. Selain tunjangannya yang besar, pejabat struktural masih bisa menikmati fasilitas-fasilitas lain dari pemerintah seperti mobil dinas, rumah dinas dan lain-lain.
b) Jabatan pustakawan tidak memiliki kewenangan sebagai pemberi perintah (komando) pada subordinat yang berada di bawahnya. Sebagaimana sifatnya, maka pekerjaan kepustakawanan bagi pustakawan tersebut lebih bersifat pekerjaan mandiri.
Berkaitan dengan butir b ini maka Perpustakaan Nasional RI perlu mengeluarkan peraturan mengenai tata kerja dan tata hubungan kerja antara pustakawan fungsional dengan pejabat struktural, sehingga tidak terjadi dominasi kekuasaan oleh pejabat struktural atas pejabat fungsional (abuse of power). Saat ini memang sudah ada Pedoman Mekanisme Kerja Pustakawan (Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI nomor 36 tahun 2005). Dalam pedoman ini diatur bagaimana hubungan kerja Pejabat Struktural dengan pejabat fungsional (halaman 34 butir C) sebanyak sepuluh butir. Namun dalam aturan ini terlihat sangat jelas dominasi pejabat struktural terhadap pejabat fungsional, dan tidak terlihat peran pejabat fungsional pustakawan dalam proses kepemimpinan (termasuk proses pengambilan keputusan). Disinilah yang harus diatur, misalnya tanggung jawab Pejabat struktural tersebut adalah menyangkut kelancaran pelaksanaan program kerja perpustakaan (quality control), sedangkan pejabat fungsional pustakawan bertanggung jawab terhadap mutu dari pekerjaan yang dilaksanakan oleh para pustakawan tersebut (quality assurance). Dengan tanggung jawab yang seimbang tersebut maka sudah selayaknya imbalan yang merupakan konsekwensi sebagai pejabat dibuat tidak terlalu berbeda. Dalam kasus tunjangan di atas (butir a) perbedaan besar tunjangan tersebut hampir mencapai 1 : 8. Kalaupun harus ada perbedaan, maka perbedaannya harus diperkecil misalnya 1 : 2, sehingga jika pejabat eselon I mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 5.500.000,- maka Pustakawan Utama hendaknya bisa mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 2.750.000,-. Dengan demikian, maka pustakawanjuga akan menjadi pilihan karir pustakawan bagi PNS, sehingga PNS tidak berebut atau antri untuk mendapatkan kesempatan menduduki jabatan struktural.

5. Apakah benar pustakawan termasuk profesi? Bagaimana pendidikan profesi?
Pustakawan diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, dokter dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Menurut Sulistyo-Basuki (1991) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Karena pustakawan merupakan suatu profesi, maka untuk menjadi pustakawan seseorang harus tunduk kepada ciri-ciri profesi tersebut. Namun syarat-syarat profesi tersebut ternyata tidak cukup. Pertanyaan yang dajukan oleh beberapa anggota tim penyusun RPP tentang standar perpustakaan yang berasal dari Badan Litbang Kementrian Pendidikan Nasional sangat menggelitik dan perlu dipikirkan lebih jauh. Pertanyaannya adalah apakah untuk menjadi pustakawan seseorang harus menempuh pendidikan profesi, setelah lulus pendidikan sarjana? Pada beberapa profesi lain syarat pendidikan profesi ini jelas, misalnya seseorang akan menjadi dokter setelah menempuh pendidikan profesi yang disebut Co Asistensi selama beberapa tahun setelah yang bersangkutan lulus sarjana kedokteran. Demikian juga halnya pada bidang hukum dimana lulusan pendidikan sarjana hukum tidak serta merta dapat menjadi advokat, notaris, hakim, dan jaksa sebelum menempuh pendidikan profesi yang dipersyaratkan. Seorang guru atau dosen juga harus mendapatkan pendidikan akta untuk mendapatkan brevet mengajar. Jadi pertanyaan seorang dari Balitbang Diknas yaitu apakah pustakawan tersebut sebagai sebuah profesi layak dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya.

6. Masalah transfer pejabat struktural ke fungsional
Adanya Keppres tentang Batas Usia Pensiun (Keppres 102 tahun 2003 tentang Batas Usia Pensiun bagi pejabat fungsional pustakawan) bagi pejabat fungsional pustakawan (PNS) yang dapat mencapai usia 60 tahun bagi pustakawan penyelia dan pustakawan madya, serta 65 tahun bagi pustakawan utama menjadikan pustakawan sebagai ?pelarian? bagi pejabat struktural yang terancam pensiun pada usia 56 tahun. Kerapkali mereka ?pindah? menjadi pustakawan untuk memperpanjang batas usia pensiunnya. Namun bagi profesi pustakawan hal ini tidak selalu menguntungkan, malah lebih banyak merugikan, karena sebagian besar dari mereka yang pindah jalur tersebut ditengarai tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk menyandang jabatan fungsional. Banyak yang terkesan dipaksakan. Beberapa malah langsung diangkat menjadi pustakawan oleh gubernur, tanpa mempertimbangkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang calon pustakawan yang aturannya dikeluarkan oleh Kepmenpan. Kecenderungan seperti ini harus segera diakhiri. Perpustakaan Nasional RI harus mengatur secara tegas bahwa untuk pengangkatan pertama bagi pustakawan Madya dan Utama harus menyerahkan DUPAK yang dinilai oleh Tim Penilai Tingkat Nasional, dan PAKnya harus dikeluarkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI. Dengan demikian maka kemungkinan terjadinya perpindahan jabatan dari struktural ke jabatan fungsional pustakawan dari diseleksi dengan benar sehingga kualitas pustakawan dapat dipertahankan.

7. Masalah organisasi profesi pustakawan
Organisasi profesi di bidang perpustakaan sekarang ini tidak lagi dimonopoli oleh Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), artinya IPI bukan merupakan satu-satunya oraganisasi profesi pustakawan. Sejak era reformasi telah bermunculan organisasi profesi pustakawan dan perpustakaan baru seperti Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI), Forum Perpustakaan Umum (FPU), Forum Perpustakaan Khusus (FPK), Forum Perpustakaan Sekolah (FPS), Asosiasi Pekerja Informasi Seluruh Indonesia (APISI), Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) dan lain-lain. Ini menjadi tantangan bagi IPI untuk menyatukan organisasi-organisasi pustakawan dan perpustakaan tersebut. Banyaknya organisasi profesi seperti ini sebaiknya tidak dianggap sebagai pertentangan dan perpecahan dari organisasi IPI. Tumbuhnya organisasi profesi tersebut merupakan akibat dari IPI sendiri tidak dapat menampung aspirasi anggotanya. Ini wajar, karena IPI sendiri memiliki anggota yang sangat beragam baik dari segi kualitas akademik anggotanya (dari yang berpendidikan SLTA sampai kepada yang bergelar doktor) maupun dari aspek kelompok asal anggotanya (seperti anggota dari jenis perpustakaan). Tentu saja heterogenitas anggota yang sedemikian besar menjadi persoalan bagi IPI untuk menampung semua aspirasi anggota tersebut. Tugas Pemerintah c/q Perpustakaan Nasional RI adalah membina semua organisasi profesi tersebut, sebagaimana diamanatkan oleh UU 43 2007 pasal 34 ayat 4 yang berbunyi: ?Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat?. Untuk dapat mengerahkan potensi dan kekuatan personil yang berada dalam organisasi-organisasi profesi tersebut maka Perpustakaan Nasional harus memfasilitasi agar organisasi-organisasi tersebut berada dalam satu payung organisasi. Apakah IPI dapat bertindak sebagai payung organisasi profesi yang menaungi organisasi-organisasi profesi yang ada? Ataukah harus ada bentuk lain dari organisasi profesi? PNRI-lah yang harus memiliki inisiatif memikirkan dan mendorong ke arah terbentuknya organisasi profesi yang diinginkannya. Menurut penulis, kondisi organisasi profesi kita ini mirip dengan kondisi organisasi profesi di Amerika. Di Amerika ada American Library Association (ALA), dan dalam ALA ada divisi organisasi seperti American Association of School Librarian (AASC), Association fo Library Service to Children (ALSC), Association for Library Collections and Technical Services (ALCTS), Association of College and Research Libraries (ACRL), Public Library Association (PLA), dan lain-lain. Penulis berpikir Ikatan Pustakawan Indonesia dapat mengambil model seperti yang dijalankan oleh ALA di Amerika. Ikatan Pustakawan Indonesia dapat menjadi induk organisasi dari organisasi-organisasi profesi yang ada seperti sekarang ini.

Penutup
Terbitnya UU Nomor 43 Tahun 2007 merupakan berkah sekaligus tantangan bagi para pustakawan maupun pustakawan. Pekerjaan rumah bagi Perpustakaan Nasional RI masih banyak agar pelaksanaan UU 43 ini dapat berjalan dengan lancar. Selain sosialisasi, juga penyelesaian peraturan pelaksanaannya harus segera disiapkan. Jika tidak maka UU 43 ini hanya akan menjadi macan kertas yang selalu disebut-sebut dalam membicarakan masalah kepustakawanan namun tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi pengembangan perpustakaan dan pustakawan.

Daftar Bacaan
American Library Association. http://www.ala.org/ (diakses tanggal 11 Februari 2010).
Heery, M. and Steve Morgan. (1996). Practical Strategies for the Modern Academic Library. London: Aslib, 1996.
Hernandono. (2008). Meretas kebuntuan kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi sumberdaya tenaga perpustakaan. dalam Kumpulan Naskah Orasi Ilmiah: Pengukuhan Pustakawan Utama 1995 ? 2007. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Rachmat Natajumena. (2008). Perpustakaan Sekolah Lahan Tidur Pustakawan dalam Kumpulan Naskah Orasi Ilmiah: Pengukuhan Pustakawan Utama 1995 ? 2007. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional. (2007). Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpusnas RI, 2007.
Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional. (2005). Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pedoman Mekanisme Kerja Pustakawan. Jakarta: Perpusnas RI, 2005.
Republik Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Standar Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
The Academic Library Director: Reflections on a Position in Transition. Frank D?Andraia (editor). (1997). New York: The Haworth, 1997.


Naskah ini pernah disampaikan pada Rapat Tim Pertimbangan Pengembangan Pustakawan tanggal 17 Februari 2010 di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Thursday, March 01, 2007

Profesionalisme dan Sumberdaya Manusia di Perpustakaan

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.

Pustakawan Madya di Perpustakaan IPB dan pengajar luar biasa pada Program Studi Magister Teknologi Informasi untuk Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana IPB

rahman@ipb.ac.id

Pendahuluan

Sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur yang penting dalam organisasi. Seperti kita ketahui unsur-unsur organisasi yang dikenal dengan 6M tersebut adalah Sumberdaya Manusia (Man), Peralatan (Machine), bahan-bahan (Materials), biaya (Money), metode (Method), dan pasar (Market). Banyak teori manajemen yang mengatakan bahwa SDM merupakan unsur yang paling penting. Hal ini karena SDM sangat menentukan arah dan kemajuan organisasi. Salah satu jenis SDM yang ada di Perpustakaan adalah Pustakawan selain tenaga-tenaga lain tentunya.

Pustakawan diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, hakim, dokter dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Menurut Sulistyo-Basuki (1991) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Karena pustakawan merupakan suatu profesi, maka untuk menjadi pustakawan seseorang harus tunduk kepada ciri-ciri profesi tersebut.

Kompetensi bagi beberapa profesi menjadi persyaratan penting terutama jika profesi ini menentukan nasib atau hidup orang lain yang menjadi objek atau klien dari profesi itu. Misalnya profesi dokter akan menentukan nasib pasien. Jika dokter salah dalam mendiagnosa penyakit seseorang, maka terapi dia akan berakibat fatal terhadap orang yang menjadi pasiennya tersebut. Profesi pilot juga mempunyai resiko tinggi karena kemahiran seorang pilot dalam menerbangkan pesawat dapat menentukan nasib penumpang pesawat tersebut. Untuk profesi-profesi yang mempunyai resiko tinggi tersebut maka standar kompetensi menjadi sangat penting. Namun demikian, sekarang ini banyak organisasi, karena tuntutan mutu, juga mulai menerapkan standar kompetensi dalam menerima pegawai baru. Seperti pernyataan LGI (2002) ”More and more organizations are incorporating individual competencies into their hiring and performance management systems…. Competencies offer a framework for organizations to use to focus their limited resources”. Masalah kompetensi itu menjadi penting, karena kompetensi menawarkan suatu kerangka kerja organisasi yang efektif dan efisien dalam mendayagunakan sumber-sumber daya yang terbatas. Seseorang yang memiliki kompetensi dalam profesinya akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik serta efisien, efektif, tepat waktu, dan sesuai dengan sasaran.

Salah satu tujuan diberlakukannya standar kompetensi di Indonesia adalah untuk mengantisipasi persaingan bebas (AFTA, APEC dan sebagainya), khususnya bagi pasar tenaga kerja antar negera. Seperti kita ketahui pada era global setiap negara harus membuka kesempatan dan kerjasama seluas-luasnya antar negara. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tenaga kerja Indonesia harus mempunyai daya saing tinggi untuk memenangkan persaingan pasar tenaga kerja. Standar kompetensi ini akan meningkatkan daya saing SDM Indonesia di pasar bebas.

Kompetensi dan Profesionalisme

Kompetensi atau competency adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas/ pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan. Sedangkan Mirabile dalam Kismiyati (2004) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan dan keterampilan yang dituntut untuk melaksanakan dan/atau untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan, yang merupakan dasar bagi penciptaan nilai dalam suatu organisasi Menurut definisi ini, faktor-faktor kompetensi yang sangat penting bagi perseorangan maupun organisasi untuk mencapai keberhasilan, meliputi: pengetahuan teknis, pengkoordinasian pekerjaan, penyelesaian dan pemecahan masalah, komunikasi dan layanan, dan akuntabilitas. Beberapa definisi tentang kompetensi yang dirumuskan sejumlah ahli menambahkan unsur motivasi, sikap dan nilai kepribadian, serta kepercayaan diri. Kompetensi itu bisa diukur, dan dapat dikembangkan, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan. Dari beberapa definisi tersebut dapat dirumuskan bahwa seseorang yang berkompeten adalah seseorang yang penuh percaya diri karena menguasai pengetahuan dalam bidangnya, memiliki kemampuan dan keterampilan serta motivasi tinggi dalam mengerjakan hal-hal yang terkait dengan bidang itu sesuai dengan tata nilai atau ketentuan yang dipersyaratkan.

Suatu jabatan umumnya sangat terkait dengan masalah profesionalisme. Istilah profesionalisme biasanya dikaitkan dengan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dalam mengelola dan melaksanakan pekerjaan/tugas dalam bidang tertentu. Profesionalisme pustakawan tercermin pada kemampuan (pengetahuan, pengalaman, keterampilan) dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan pekerjaan di bidang kepustakawanan serta kegiatan terkait lainnya secara mandiri. Kualitas hasil pekerjaan inilah yang akan menentukan profesionalisme mereka. Pustakawan profesional dituntut menguasai bidang ilmu kepustakawanan, memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas/pekerjaan kepustakawanan, melaksanakan tugas/pekerjaannya dengan motivasi yang tinggi yang dilandasi oleh sikap dan kepribadian yang menarik, demi mencapai kepuasan pengguna. Dengan demikian, kompetensi dan profesionalisme kepustakawanan itu bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Sumberdaya Manusia di Perpustakaan

Sumberdaya manusia di perpustakaan menurut Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi terdiri dari: Pustakawan, tenaga administrasi dan tenaga kejuruan. Pustakawan (dalam hal ini jabatan fungsional Pustakawan) di Indonesia mulai diterapkan sejak tahun 1988 yaitu dengan terbitnya Keputusan Menpan nomor 18/1988. Penerapan jabatan fungsional ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai sekaligus untuk menetapkan dan mengukur kompetensi pegawai perpustakaan melalui sistem penilaian pelaksanaan pekerjaan. Jenjang jabatan diukur berdasarkan kompetensi yang dimilikinya yang dicerminkan dengan nilai kredit kumulatif yang dicapai oleh pegawai yang bersangkutan. Dengan demikian maka seseorang yang menduduki jabatan tertentu ia telah memiliki kompetensi untuk jabatan tersebut. Keputusan Menpan ini kemudian disempurnakan mengikuti perkembangan atau dinamika Jabatan Pustakawan. Keputusan Menpan yang terakhir adalah Kep Menpan nomor 132/KEP/M.PAN/12/2002.

Kondisi Pustakawan Saat Ini

Jumlah pustakawan terampil dan pustakawan ahli di Indonesia yang tercatat di Pusat Pengembangan Pustakawan, Perpustakaan Nasional RI (data Januari 2007) adalah sebanyak 2929 orang (lihat tabel 1, terdiri dari 1339 laki-laki (45,72 %) dan 1590 perempuan (54,28 %).
Tabel 1. Sebaran pustakawan menurut jenis kelamin
Jenis kelaminJumlah%
Laki-laki133945,72
perempuan159054,28
jumlah2929100


Tabel 2. Sebaran pustakawan menurut Jabatan
Jabatan fungsional pustakawanJumlah%
Pustakawan pelaksana45315,47
Pustakawan pelaksana lanjutan91431,21
Pustakawan penyelia55018,78
Pustakawan pertama29410,04
Pustakawan muda46916,01
Pustakawan madya2378,09
Pustakawan utama120,41
Jumlah2929100

Dari tabel 2 terlihat jumlah pustakawan terampil sebanyak 1917 orang atau sebesar 65,45 % yang terdiri dari pustakawan pelaksana 15,47 %, pustakawan pelaksana lanjutan 31,21 % dan pustakawan penyelia 18,78 %; dan pustakawan ahli sebanyak 1012 orang atau sebesar 34,55 % yang terdiri dari Pustakawan Pertama sebanyak 10,04 %, Pustakawan Muda sebanyak 16,01 %, Pustakawan Madya sebanyak 8,09 %, dan Pustakawan Utama 0,41 %.





Table 3. Sebaran pustakawan berdasarkan usia
usia0123456789Jumlah
60 - 65163322 26
50 - 5915913717012114064787851401038
40 - 49741011021251361281662371931371399
30 - 3922232936234144626968417
20 - 2900020059151748
Jumlah 2928
Keterangan tidak mengisi tanggal lahir 1 orang

Dari segi usia pustakawan, yang paling muda adalah 26 tahun dan yang paling tua adalah 64 tahun. Sedangkan pustakawan yang berusia 52 tahun merupakan jumlah yang terbanyak (5,8 %). Namun yang menarik adalah komposisi usia pustakawan tersebut tidak merata. Sebagian besar (1399 orang atau 47,76 %) berada pada usia 40 – 49 tahun, diikuti usia 50 – 50 tahun sebanyak 1038 orang (35,44 %) dan 30 – 39 tahun sebanyak 417 orang (14,24 %). Sedangkan usia muda atau 20 – 29 tahun sangat sedikit yaitu hanya 48 orang (1,64 %). Ini sebagai dampak dari kebijakan pemerintah mengenai formasi pegawai dimana sejak pertengahan tahun 1990an hampir tidak ada pengangkatan baru pegawai negeri sipil (zero growth). Bila kondisi ini berlangsung terus, pada suatu ketika akan berbahaya bagi kelangsungan layanan perpustakaan, karena pada saatnya nanti perpustakaan akan kekurangan pegawai. Terutama jika kelompok umur 40 – 49 tahun (dimana kelompok usia ini merupakan jumlah terbanyak) memasuki masa pensiun. Pada saat itu perpustakaan harus melakukan rekruitmen besar-besaran untuk mengisi kekosongan akibat pustakawan pensiun. Jika ini terjadi maka komposisi pejabat pustakawan akan mengalami ketimpangan karena yang akan terjadi adalah penumpukan jumlah pejabat pada pustakawan pelaksana dan pustakawan pertama. Sedangkan jabatan diatasnya akan sangat sedikit. Seharusnya formasi pegawai untuk pustakawan terampil dan pustakawan ahli setiap tahun harus tersedia sekurang-kurangnya rata-rata 2,5 % dari total pustakawan. Hal ini karena rata-rata pustakawan yang pensiun setiap tahun adalah 2,5 %. Atau jika rekruitmen ini akan didasarkan kepada pengelompokan pangkat dan jabatan pustakawan yaitu diasumsikan kenaikan pangkat dan jabatan tersebut adalah rata-rata 4 tahun, maka setiap empat tahun pemerintah harus menyediakan formasi sekurang-kurangnya sebanyak 10 %. Ini akan menjamin kelancaran pekerjaan di perpustakaan, karena setiap jenjang akan terisi dengan komposisi jumlah pustakawan yang ideal.





Tabel 4. Sebaran pustakawan menurut Pendidikan
Tingkat pendidikanJumlah%
SLTA96232,84
Dipl + SM83628,54
S199834,07
S21334,54
Jumlah2929100


Dari aspek pendidikan sebagian besar pejabat pustakawan adalah berpendidikan sarjana yaitu sebanyak 998 orang (34,07 %), diikuti oleh yang berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 962 orang (32,84%), kemudian yang berpendidikan Diploma dan Sarjana Muda sebanyak 836 orang (28,54 %). Sedangkan yang berpendidikan S2 hanya sebesar 4,54 %. Yang menarik adalah masih banyaknya pejabat fungsional yang berpendidikan SLTA. Padahal persyaratan untuk menduduki jabatan fungsional pustakawan adalah sekurang-kurangnya harus berpendidikan Diploma. Banyaknya pejabat fungsional yang berpendidikan SLTA ini disebabkan karena penyesuaian dari pegawai administrasi menjadi pejabat fungsional pustakawan pada tahap awal diberlakukannya SK Menpan mengenai jabatan pustakawan (in passing).

Jabatan Fungsional Pustakawan

Jabatan fungsional Pustakawan di Indonesia mulai diterapkan sejak tahun 1988 yaitu dengan terbitnya SK Menpan nomor 18/1988. Penerapan jabatan fungsional ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai sekaligus untuk menetapkan dan mengukur kompetensi pegawai perpustakaan melalui sistem penilaian pelaksanaan pekerjaan. Jenjang jabatan diukur berdasarkan prestasi yang dimilikinya yang dicerminkan dengan nilai kredit kumulatif yang dicapai oleh pegawai yang bersangkutan. Dengan demikian maka seseorang yang menduduki jabatan tertentu ia telah memiliki kompetensi untuk jabatan tersebut.

Yang mengatur jabatan fungsional pustakawan saat ini adalah Keputusan Menpan nomor 132/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Menurut KepMenpan tersebut jabatan fungsional pustakawan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri. Sedangkan yang dimaksud dengan pustakawan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi di instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya.

Pustakawan terdiri dari Pustakawan Tingkat Terampil adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Diploma II perpustakaan, dokumentasi dan informasi atau Diploma bidang lain yang disetarakan, dan Pustakawan Tingkat Ahli adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana perpustakaan, dokumentasi dan informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan. Sedangkan yang dimaksud dengan Unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi adalah unit kerja yang memiliki sumber daya manusia minimal seorang pustakawan, ruangan/tempat khusus dan koleksi bahan pustaka sekurang-kurangnya 1.000 judul dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan jenis dan misi perpustakaan yang bersangkutan serta dikelola menurut sistem tertentu.

Berdasarkan KepMenpan 132/KEP/M.PAN/12/2002 ini dikenal dua kelompok pustakawan yaitu: (1) Pustakawan Tingkat Terampil yang terdiri dari 3 (tiga) jenjang jabatan seperti pustakawan pelaksana, pustakawan pelaksana lanjutan, dan pustakawan penyelia; dan (2) Pustakawan Tingkat Ahli yang terdiri dari 4 (empat) jenjang jabatan seperti pustakawan pertama, pustakawan muda, pustakawan madya, dan pustakawan utama.

Pustakawan yang hendak menduduki jabatan di atasnya disyaratkan untuk mengumpulkan sejumlah angka kredit sesuai dengan Kep Menpan 132/2002. Angka kredit ini kemudian diajukan kepada pimpinan dalam bentuk Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit (DUPAK). Angka kredit yang diusulkan akan diteliti oleh tim penilai. Bila disetujui, maka proses akan diteruskan untuk dibuatkan Penetapan Angka Kredit (PAK). Jika usulan angka kredit ini tidak disetujui, maka DUPAK akan dikembalikan kepada pustakawan yang bersangkutan dengan catatan.

Tentu saja penilaian ini tidak selalu berjalan dengan lancar. Beberapa kendala terjadi terutama jika tim penilai menemukan usulan angka kredit yang kegiatannya tidak ada dalam Kep Menpan. Dalam hal demikian maka tim penilai akan mengambil langkah-langkah kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak.

Butir-butir Kegiatan Pustakawan

Secara umum butir-butir kegiatan pustakawan yang dapat dinilai terdiri dari dua unsur kegiatan yaitu unsur kegiatan pokok dan unsur kegiatan penunjang. Unsur kegiatan pokok terdiri atas 4 kegiatan yaitu:
(1) Pendidikan dengan sub-unsur seperti (a) pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah/gelar dan; (b) Pendidikan dan pelatihan kedinasan kepustakawanan serta memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidi kan dan Pelatihan (STTPP) atau sertifikat.
(2) Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka/sumber informasi dengan sub-unsur seperti (a) Pengembangan koleksi; (b) Pengolahan bahan pustaka; (c) Penyimpanan dan pelestarian bahan pustaka; (d) Pelayanan informasi;
(3) Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi dan informasi dengan sub-unsur seperti (a) Penyuluhan; (b) Publisitas; (c) Pameran;
(4) Pengkajian dan pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi dengan sub-unsur seperti (a) Pengkajian; (b) Pengembangan perpustakaan; (c) Analisis/kritik karya kepustakawanan; (d) Penelaahan pengambangan di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi; dan
(5) Pengembangan Profesi dengan sub-unsur seperti (a) Membuat karya tulis/ karya ilmiah di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi; (b) Menyusun pedoman/ petunjuk teknis perpustakaan, dokumentasi dan informasi; (c) Menerjemahkan/ menyadur buku dan bahan-bahan lain di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi; (d) Melakukan tugas sebagai Ketua Kelompok/ Koordinator Pustakawan atau memimpin unit perpustakaan; (e) Menyusun kumpulan tulisan untuk dipublikasikan; (f) Memberi konsultasi kepustakawanan bersifat konsep.

Sedangkan unsur kegiatan penunjang meliputi sub-unsur kegiatan (a) mengajar, (b) melatih, (c) membimbing mahasiswa yang berkaitan dengan ilmu perpusdokinfo, (d) memberikan konsultasi teknis sarana dan prasarana perpusdokinfo, (e) mengikuti seminar, lokakarya dan pertemuan bidang kepustakawanan, (f) menjadi anggota profesi kepustakawanan, (g) melakukan lomba kepustakawanan, (h) memperoleh penghargaan/ tanda jasa, (i) memperoleh gelar kesarjanaan lainnya, (j) menyunting risalah pertemuan ilmiah, dan (k) Keikutsertaan dalam tim penilai jabatan pustakawan.

Standard Kompetensi Pustakawan

Pustakawan merupakan suatu profesi, oleh karena itu seorang pustakawan seharusnya profesional dalam bidangnya. Untuk mendapatkan predikat profesional tersebut seharusnya seorang pustakawan harus memiliki sertifikat keahlian. Dan untuk mendapatkan sertifikat keahlian tersebut ia harus lulus dalam ujian sertifikasi. Jadi profesional tersebut tidak cukup hanya dengan memiliki ijazah akademik (kompetensi akademik) saja.

Untuk menyusun standar kompetensi ini organisasi profesi dapat bekerjasama dengan Perpustakaan Nasional RI sebagai regulator dan perguruan tinggi sebagai pakar kepustakawanan. Pada saat yang sama, beberapa lembaga yang mampu dapat ditunjuk untuk menerbitkan sertifikasi. Untuk setiap jabatan/pekerjaan/job tersebut, perlu didefinisikan kompetensi ataupun kemampuannya (knowledge, skill, attitude). Dari kerjasama antara organisasi profesi dalam hal ini Ikatan Pustakawan Indonesia, Perpustakaan Nasional RI dan perguruan tinggi dapat dibuat standar kompetensi pustakawan di Indonesia.

Kompetensi didefinisikan berdasarkan kebutuhan menjalankan suatu pekerjaan (job). Sebagaimana pada pekerjaan terdapat penjenjangan, demikian juga kompetensi memiliki penjenjangan menurut tingkat kesukaran. Sebagai contoh, pekerjaan otomasi perpustakaan membutuhkan kompetensi menggunakan perangkat lunak perpustakaan. Dari kompetensi ini dapat diturunkan pelatihan apa yang diharapkan membekali pustakawan tersebut untuk memiliki kompetensi ini. Kompetensi ini juga dipakai untuk menguji (meng”assess”) keberhasilan dari pelaksanaan pelatihan ini. Kemudian pelatihan ini dipaketkan dalam program studi yang diselenggarakan bagi pustakawan.

Proses “assessment” dilakukan dengan mengukur apakah pustakawan tersebut dapat melakukan tugas yang mencerminkan kompetensi itu. Assessment dilakukan per kompetensi. Sebagai contoh untuk mencek kemampuan pustakawan menggunakan perangkat aplikasi perpustakaan CDS/ISIS, pustakawan diminta untuk melakukan beberapa tugas pokok yang menjadi inti dari pekerjaan menggunakan CDS/ISIS, misalnya bagaimana instalasi CDS/ISIS, pembuatan struktur basisdata buku, pengisian (inputting) data buku, penelusuran data dengan CDS/ISIS, pencetakan data buku, pertukaran data dengan basisdata lain sejenis dan sebagainya.

Dalam prakteknya sebaiknya lembaga yang melakukan assessment berbeda dari lembaga yang melakukan pelatihan. Assessment dilakukan oleh lembaga (sebaiknya indipenden) yang memiliki sertifikat untuk melakukannya, dalam hal ini Ikatan Pustakawan Indonesia dapat membentuk divisi untuk keperluan sertifikasi kompetensi pustakawan atau menunjuk lembaga lain (misalnya perguruan tinggi tertentu) jika IPI belum siap untuk melakukannya sendiri. Lembaga ini (Ikatan Pustakawan Indonesia) mengeluarkan sertifikasi kompetensi bagi peserta yang lulus. Hal ini diperlukan untuk menjamin standar kualitas dari pustakawan yang dihasilkan. Terlebih apabila jumlah lembaga pendidikan yang diselenggarakan cukup banyak, maka keberadaan lembaga assessment dapat menolong proses yang ketat namun tetap terkontrol. Assessment diselenggarakan berkala menurut sebuah jadwal.

Standar Pengujian dan Sertifikasi

Pengujian dan sertifikasi adalah dua hal berhubungan sebab akibat. Seperti halnya kalau kita dibangku kuliah. Setelah melakukan kuliah selama satu semester, maka di akhir semester dosen akan memberikan ujian untuk mengetahui seberapa jauh seorang mahasiswa menguasai ilmu yang diajarkan oleh sang dosen. Dan hasilnya adalah berupa transkrip nilai. Jika ujian kita baik, maka kita akan lulus dan memperoleh transkrip dengan nilai yang bagus pula. Namun sebaliknya, apabila ujian kita jelek, maka dosen dapat menyatakan mahasiswa yang bersangkutan tidak lulus.

Pengujian (Assessment)

Setelah mengetahui kompetensi-kompetensi pustakawan, maka harus dibuat mekanisme pengujian (assesment) untuk menilai apakah seseorang sudah memiliki kompetensi yang disyaratkan. Cara yang paling gampang yaitu dengan merujuk kepada standar-standar kompetensi yang telah didefinisikan.

Sertifikasi

Sertifikat diberikan kepada seseorang yang memenuhi standar-standar yang telah ditentukan sesuai dengan bidang keahlian atau pekerjaannya. Sertifikat ini identik dengan ijazah pada pendidikan formal. Bedanya adalah sertifikat ini lebih mengacu kepada keahlian.

Dengan menggunakan standar-standar kompetensi, pustakawan dapat juga dibuatkan sertifikat untuk masing-masing keahlian. Dan untuk memperoleh sertifikat pada bidang keahlian atau profesi tertentu, maka seseorang biasanya harus menguasai kompetensi inti dan kompetensi pilihan yang telah disyaratkan.

Kompetensi inti (core competency) adalah kumpulan unit-unit kompetensi yang harus dikuasi semua oleh seseorang yang ingin memperoleh sertifikat pada bidang tertentu. Sedangkan kompetensi pilihan (elective competency) adalah kumpulan unit-unit kompetensi dimana apabila seseorang ingin mendapatkan suatu sertifikat, maka harus menguasai beberapa kompetensi yang ada pada kompetensi pilihan ini. Kompetensi inti dan pilihan ini identik dengan mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan di pendidikan tinggi.

Manfaat Kompetensi bagi Pustakawan Indonesia

Apabila pustakawan Indonesia ingin bersaing di dalam memperebutkan pasar kerja baik di ASEAN maupun di dunia, mau tidak mau Indonesia harus membuat standar kompetensi bagi pustakawan. Standar kompetensi ini sebaiknya mengacu kepada standar kompetensi pustakawan yang berlaku di negara maju seperti Inggris dan Amerika. Standar tersebut kemudian dijadikan acuan dalam melakukan sertifikasi profesi. Jadi seorang pustakawaan yang memiliki sertifikat profesi sebagai pustakawan pelayanan web/web librarian, dia akan diakui oleh sebagai web librarian dimanapun ia bekerja. Dengan demikian maka pasar kerja pustakawan Indonesia akan menjadi lebih luas. Sebaliknya, standar kompetensi pustakawan ini akan menjadi filter untuk tenaga kerja yang akan masuk ke Indonesia. Pustakawan dari negara lain tidak bisa sembarangan masuk dan bekerja di perpustakaan-perpustakaan di Indonesia.

Konsekuensinya adalah pustakawan di Indonesia harus meningkatkan kualitasnya sehingga standar kompetensi yang akan dibuat dapat mendekati standar kompetensi yang berlaku di negara maju. Jika tidak, ada dua hal yang akan terjadi sebagai akibat dari diberlakukannya standar kompetensi ini. Pertama, jika nilai-nilai pada standar kompetensi dibuat dengan standar rendah karena ingin Hal ini untuk menampung agar cukup banyak pustakawan yang bisa lolos dalam uji sertifikasi kompetensi. Namun karena standarnya rendah, maka sertifikat kita mungkin tidak diakui di tingkat internasional. Jika ini terjadi maka pustakawan Indonesia sulit masuk ke negara lain, dan sebaliknya pustakawan dari negara lain dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Kedua, nilai-nilai pada standar kompetensi dibuat tinggi. Namun resikonya mungkin banyak pustakawan kita yang tidak bisa lolos dalam uji sertifikasi. Keuntungannya, pustakawan kita bisa “laku” di negara lain, dan pustakawan dari negara lain dapat difilter untuk masuk ke Indonesia.

Daftar Pustaka

Bandung Hi-Tech Valley (2003). Blue Book IT Human Resource Development. Bandung: KPP ME dan Material PAU ITB.

Harkrisyati Kamil (2004). Perpustakaan sebagai pusat sumber belajar. Makalah Munas dan Seminar Ilmiah FPPTI, Bandung.

Kismiyati, T (2004). Kompetensi Pustakawan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perpustakaan Perguruan Tinggi, tanggal 28 September 2004 di Cisarua, Bogor

Local Government Institut /LGI. (2002). Core Competencies for Library Systems: Word Processing Document Files. University Place, WA: LGI.

Masyarakat Kelistrikan Indonesia. Standard Kompetensi Bidang Keahlian Ketenaga-listrikan.

Saleh, A.R. (2004). Standar Kompetensi Pustakawan dan Masa Depan Pustakawan Indonesia. dalam. Dinamika Perpustakaan IPB menuju Universitas Riset. Bogor: IPB Press.

Sulistyo-Basuki (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Utomo, B. S. (2004). Pokok-pokok pikiran pengembangan standar kompetensi kepustakawanan. Bahan diskusi di Perpustakaan Nasional RI (tidak dipublikasi).

Tuesday, October 03, 2006

Mengoptimumkan Pengembangan Koleksi

Janti G. Sujana
Pustakawan Madya pada Perpustakaan Institut Pertanian Bogor

(jantigs@ipb.ac.id)

A. Pendahuluan


Setiap perpustakaan tentunya mempunyai visi yang berbeda, namun dapat dipastikan bahwa perpustakaan itu dikatakan berhasil bila banyak digunakan oleh komunitasnya. Salah satu aspek penting untuk membuat perpustakaan itu banyak digunakan adalah ketersediaan koleksi yang memenuhi kebutuhan penggunanya. Oleh karena itu tugas utama setiap perpustakaan adalah membangun koleksi yang kuat derni kepentingan pengguna perpustakaan. Pustakawan yang diberi tugas di bidang pengembangan koleksi, harus tahu betul apa tujuan perpustakaan tempat mereka bekerja dan siapa penggunanya, serta apa kebutuhannya.

Untuk melihat apakah tujuan perpustakaan sudah tercapai dan bagaimana kualitas koleksi yang telah dikembangkan tersebut sudah memenuhi standar, perlu diadakan suatu analisis dan evaluasi koleksi. Evaluasi koleksi adalah kegiatan menilai koleksi perpustakaan baik dari segi ketersediaan koleksi itu bagi pengguna maupun pemanfaatan koleksi itu oleh pengguna. Pedoman untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan yang dikeluarkan oleh American Library Association membagi metode kedalarn ukuran-ukuran terpusat pada koleksi dan ukuran-ukuran terpusat pada penggunaan. Dalam setiap kategori ada sejumlah metode evaluasi khusus. Perpustakaan perlu melakukan evaluasi koleksi secara periodik dan sistematik untuk memastikan bahwa koleksi itu mengikuti perubahan yang terjadi, dan perkembangan kebutuhan dari komunitas yang dilayani.

Perpustakaan sebagai unit pemberi jasa/layanan selalu menaruh perhatian pada pengukuran kinerja dalam memenuhi kebutuhan para penggunanya, dan meyakinkan diri bahwa berbagai sumber daya yang dipilih bermanfaat bagi konsumennya. Akhir­-akhir ini minat untuk pengukuran kinerja semakin menguat. Hal itu sebagian disebabkan oleh tekanan untuk lebih memanfaatkan sumber daya dengan lebih efisien, bersarnaan dengan perhatian pada pemenuhan kebutuhan pengguna dengan lebih efektif. Disamping itu juga adanya tekanan dari pihak penyandang dana untuk memanfaatkan dana secara optimum, pada waktu yang sama pengguna dari jasa-jasa perpustakaan semakin tinggi tuntutannya. Setiap penilaian pada koleksi seharusnya memasukkan sebuah petimbangan pada seberapa baiknya koleksi itu memenuhi harapan dan kebutuhan pengguna.

B. Mengapa Evaluasi Koleksi Perlu Dilakukan?

Sebuah perpustakaan seringkali menghadapi berbagai pertanyaan baik dari organisasi induk maupun dari komunitasnya. Beberapa pertanyaan yang timbul, antara lain:

  • Apakah kekuatan dari koleksi perpustakaan itu?
  • Seberapa efektif perpustakaan memanfaatkan dana pengembangan koleksi?
  • Seberapa besar manfaat koleksi terhadap komunitas yang dilayani?
  • Bagaimana keadaan koleksi perpustakaan itu dibandingkan dengan koleksi perpustakaan yang setara?

Begitu juga dengan segala sesuatu yang telah kita putuskan perlu ditinjau kembali, apakah sudah mencapai tujuan yang telah ditentukan atau belum. Demikian pula halnya dengan koleksi perpustakaan. Bila perpustakaan telah membuat suatu kebijakan pengembangan koleksi, kemudian telah melakukan pembelian bahan pustaka serta mengembangkan koleksinya, seringkali timbul pertanyaan apakah koleksi yang dibeli tersebut sesuai dengan standar tertentu? Ada beberapa pedoman standar untuk perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, dan juga perpustakaan perguruan tinggi yang dapat digunakan untuk suatu evaluasi koleksi.

Itulah sebagian dari pertanyaan yang bisa dijawab melalui program penilaian evaluasi koleksi. Evaluasi melengkapi siklus pembangunan koleksi dan membawa kembali pada kegiatan kajian kebutuhan informasi pengguna. Siklus pembangunan koleksi di perpustakaan secara lengkap dimulai dari seleksi (dengan memperhatikan dokumen "Kebijakan Pengembangan Koleksi"), pengadaan (termasuk proses pembelian, penerimaan, inventarisasi, penempelan barcode untuk sistem yang terkomputerisasi), katalogisasi dan klasifikasi (termasuk entri data katalog ke komputer untuk sistem yang telah terkomputerisasi), pascakatalogisasi (penempelan label nomor panggil, slip tanggal kembali, kartu buku dan kantong buku untuk sistem yang masih manual), dilanjutkan dengan layanan sirkulasi dan referensi, kemudian dilakukan CREW (Continues Review, Evaluation, and Weeding), istilah yang diperkenalkan oleh Moore, dengan memperhatikan hasil kajian kebutuhan pengguna. Hasil dari proses CREW ini akan memberikan masukan pada dokumen "Kebijakan Pengembangan Koleksi", dan seterusnya. Makalah ini hanya membahas masalah evaluasi koleksi, karena pokok bahasan lain sudah sering dibahas di berbagai tulisan.

Walaupun istilah evaluasi mempunyai beberapa definisi, ada unsur yang umum dari semua definisi itu terkait pada penentuan sebuah nilai atau harga pada sebuah objek atau kegiatan. Evaluasi koleksi melibatkan baik objek rnaupun kegiatan, begitu juga dengan nilai kuantitatif dan kualitatif. Dasar-dasar evaluasi tidak berubah dari waktu ke waktu, namun penerapan dasar-dasar tersebut semakin canggih dari tahun ke tahun. Pemanfaatan komputer memungkinkan untuk menangani data yang lebih banyak, dan lebih beragam. Beberapa institusi di negara maju menawarkan pangkalan data bibliografi dalam bentuk CD-ROM untuk penilaian dan perbandingan koleksi.

Perpustakaan, seperti juga organisasi lainnya, ingin mengetahui keadaan mereka dibandingkan dengan organisasi yang sama. Data perbandingan dapat bermanfaat, tetapi bisa juga menyesatkan. Dalam membandingkan sebuah perpustakaan dengan perpustakaan lain harus diperhatikan apakah berbagai aspek yang melatarbelakangi data yang diperbandingkan itu sudah sama? Sebagai contoh, sebuah perpustakaan yang kecil tidak bisa dibandingkan dengan perpustakaan lain yang besar. Tentunya akan banyak hal yang berbeda. Misalkan sebuah perpustakaan A mempunyai koleksi 120.000 judul buku, sedangkan perpustakaan B mempunyai koleksi 50.000 judul buku. Dengan data yang demikian itu tidak bisa langsung mengatakan bahwa perpustakaan A lebih baik dari B.

Bila diteliti lebih lanjut, pengguna yang harus dilayani perpustakaan A ada 20.000 orang dan pengguna yang harus dilayani perpustakaan B ada 1500 orang. Itupun harus diteliti lebih lanjut, apakah koleksi yang tersedia itu merupakan koleksi yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya? Bisa terjadi koleksi yang kelihatannya begitu besar bagi kedua perpustakaan itu, ternyata dipenuhi buku-buku lama yang tidak terpakai oleh penggunanya. Walapun demikian membandingkan data antar perpustakaan itu menarik dan bisa membantu dalam mengevaluasi sebuah perpustakaan, hanya diperlukan data yang lengkap dan harus jeli dalam menganalisis semua data.

Evaluasi koleksi adalah kegiatan menilai koleksi perpustakaan baik dari segi ketersediaan koleksi itu bagi pengguna maupun pemanfaatan koleksi itu oleh pengguna.

Tujuan dari evaluasi koleksi pada perpustakaan perguruan tinggi menurut dokumen "Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi" (2005) adalah:

1. mengetahui mutu, lingkup, dan kedalaman koleksi
2. menyesuaikan koleksi dengan tujuan dan program perguruan tinggi
3. mengikuti perubahan, perkembangan sosial budaya, ilmu dan teknologi
4. meningkatkan nilai informasi
5. mengetahui kekuatan dan kelemahan koleksi
6. menyesuaikan kebijakan penyiangan koleksi.

Walaupun tujuan yang disebutkan di atas untuk perpustakaan perguruan tinggi, namun materi tersebut bisa digunakan untuk perpustakaanjenis yang lain.

Ada banyak kriteria untuk penentuan nilai dari sebuah buku atau keseluruhan koleksi, sebagai contoh: secara ekonomi, moral, keagamaan, estetika, intelektual, pendidikan, politis, dan sosial. Nilai sebuah benda atau koleksi berfluktuasi tergantung pada ukuran mana yang digunakan. Mengkombinasikan beberapa ukuran adalah efektif sepanjang ada kesepakatan menyangkut bobot relatifnya. Banyak faktor-faktor subjektif berlaku dalam proses evaluasi yang harus dilalui sebelum mulai melaksanakan proses tersebut. Satu keuntungan bila sudah ditentukan tujuan dan kriteria nilai-nilai sebelumnya, sehingga interpretasi hasil bisa dilakukan dengan lebih mudah. Hal itu juga akan membantu memperkecil perbedaan dalam pemikiran tentang hasil-hasil.

Perpustakaan melakukan evaluasi untuk beberapa alasan, seperti:

  • Untuk mengembangkan program pengadaan yang cerdas dan realistis berdasarkan pada data koleksi yang sudah ada
  • Untuk menjadi bahan pertimbangan pengajuan anggaran untuk pengadaan koleksi berikutnya
  • Untuk menambah pengetahuan staf pengembangan koleksi terhadap keadaan koleksi


c. Metode Evaluasi

Pokok bahasan berikut ini adalah beberapa metode dalam evaluasi. Berbagai metode evaluasi koleksi telah dibahas dalam berbagai tulisan, untuk memilihnya tergantung pada tujuan dan kedalaman dari proses evaluasi. George Bonn (dalam Evans, 2000) memberikan lima pendekatan umum terhadap evaluasi, yaitu:

1. Pengumpulan data statistik semua koleksi yang dimiliki
2. Pengecekan pada daftar standar seperti katalog dan bibliografi
3. Pengumpulan pendapat dari pengguna yang biasa datang ke perpustakaan
4. Pemeriksaan koleksi langsung
5. Penerapan standar, pembuatan daftar kemampuan perpustakaan dalam penyampaian dokumen, dan pencatatan manfaat relatif dari kelompok khusus.

Kebanyakan metode yang dikembangkan akhir-akhir ini mengambil teknik­-teknik statistik. Beberapa standar dan pedoman dari asosiasi profesional dan badan­-badan akreditasi menggunakan pendekatan dan formula-formula statistik yang memberikan kepada pelaksana evaluasi beberapa indikator kuantitatif dalam melakukan penilaian. Berbagai standar, daftar pencocokan (checklist), katalog, dan bibliografi adalah beberapa sarana lain bagi pelaksana evaluasi.

Pedoman untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan yang dikeluarkan oleh American Library Association (ALA's Guide to the Evaluation of Library Collections) membagi metode kedalam ukuran-ukuran terpusat pada koleksi dan ukuran-ukuran terpusat pada penggunaan. Dalam setiap kategori ada sejumlah metode evaluasi khusus.
Pedoman itu meringkas sebagian besar teknik-teknik yang digunakan sekarang ini untuk mengevaluasi koleksi. Metode tersebut difokuskan untuk sumber daya tercetak, tetapi ada unsur-unsur yang dapat digunakan dalam evaluasi sumber daya elektronik. Ada pun metode itu adalah:

1. Metode Terpusat pada Koleksi

Pada metode ini terdapat beberapa cara untuk melakukan evaluasi koleksi, yaitu:
· Pencocokan terhadap daftar tertentu, bibliografi, atau katalog
· Penilaian dari pakar
· perbandingan data statistik
· Perbandingan pada berbagai standar koleksi

2. Metode Terpusat pada Penggunaan

Pada metode ini terdapat beberapa cara untuk melakukan evaluasi koleksi, yaitu:
· Melakukan kajian sirkulasi
· Meminta pendapat pengguna
· Menganalisis statistik pinjam antar perpustakaan
· Melakukan kajian sitiran
· Melakukan kajian penggunaan di tempat (ruang baca)
· Memeriksa ketersediaan koleksi di rak
Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Seringkali yang terbaik adalah menggunakan beberapa metode yang saling dapat menutupi kelemahannya. Di bawah ini akan dibahas secara ringkas berbagai metode tersebut.

1. Metode Terpusat pada Koleksi Pencocokan pada Daftar

Metode dengan menggunakan daftar pencocokan (checklist) merupakan cara lama yang telah digunakan oleh para pelaku evaluasi. Metode ini dapat digunakan dengan berbagai tujuan, baik dengan satu metode ini saja maupun dikombinasikan dengan teknik yang lain, biasanya menghasilkan data numerik seperti: "perpustakaan A mempunyai x % dari buku-buku yang ada di daftar itu". Jadi pelaku evaluasi mencocokkan antara koleksi yang dimiliki sebuah perpustakaan dengan bibliografi yang standar. Beberapa contoh bibliografi yang standar adalah: Books for College Libraries, Business Journals of the United States, Public Library Catalog, Guide to Reference Books, Best Books for Junior High Readers (standar ini banyak dikeluarkan oleh American Library Association) dan Core Lists untuk berbagai subjek tertentu (dikumpulkan oleh Association of College and Research Libraries, Amerika Serikat). Untuk terbitan dari Indonesia belum ada, karena membuat dokumen seperti itu membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar.

Bila bibliografi standar tidak dimiliki, pelaku evaluasi bisa mengundang beberapa pakar dalam subjek yang akan dievaluasi. Pakar tersebut diminta untuk melihat beberapa bibliografi dalam subjek keahliannya dan menentukan bibliografi yang bisa dijadikan dasar untuk mengevaluasi koleksi dalam subjek itu. Disarankan koleksi perpustakaan dievaluasi sesering mungkin terhadap bibliografi yang standar, agar mutu koleksi itu tetap terjaga. Semakin tinggi persentase kecocokan antara koleksi dengan bibliografi standar untuk subjek tertentu, semakin baik. Asosiasi profesi di negara-­ngara maju biasa mengeluarkan daftar publikasi terbaik pada tahun itu (the best-of-the­ year list), yang bisa dijadikan standar untuk mengetahui publikasi yang bermutu untuk bidang ilmu profesi tersebut. Jadi banyak sekali sumber yang bisa dirujuk untuk mengetahui koleksi yang seharusnya dimiliki oleh sebuah perpustakaan.

Evaluasi koleksi menggunakan bibiografi sebagai daftar pencocokan dilakukan pertama kali pada tahun 1933 oleh pustakawan di perpustakaan University of Chicago. Pada saat itu mereka menggunakan 300 bibliografi untuk mencocokkan seluruh koleksi yang ada di perpustakaan, dalam rangka penentuan kebutuhan pengguna di masa depan.
Untuk melakukan evaluasi koleksi, berbagai daftar pencocokan bisa digunakan. Terkait masalah banyaknya daftar yang akan digunakan tergantung pada ketersediaan waktu untuk melakukan evaluasi, karena jelas semakin banyak daftar yang akan dicocokkan semakin banyak waktu dibutuhkan untuk melakukannya. Namun terlalu sedikit daftar yang digunakan untuk evaluasi koleksi juga memberikan hasil yang kurang baik.

Memang dengan adanya data katalog di komputer, OPAC (Online Public Access Catalog), akan sangat mempercepat proses pencocokan koleksi dengan daftar. Perlu juga diteliti apakah publikasi yang didaftar pada daftar pencocokan (checklist) itu sesuai dengan tujuan dari perpustakaan. Bisa saja daftar itu memang tidak sesuai dengan koleksi yang harus dibina di perpustakaan itu. Di negara maju seperti Amerika Serikat dimana pangkalan data dari jaringan berbagai perpustakaan banyak tersedia, mereka membuat bibliografi khusus yang memang diperuntukkan sebagai sarana untuk evaluasi koleksi. Bibliografi yang dibuat khusus itu lebih tepat untuk sarana evaluasi koleksi.
Ada beberapa kelemahan dalam teknik pencocokan pada daftar untuk evaluasi koleksi, yaitu:

· Pemilihan judul untuk penggunaan yang khusus, tidak berlaku umum.
· Hampir semua daftar selektif dan bisa saja mengabaikan banyak judul-judul publikasi yang bermutu
· Banyak judul yang tidak sesuai untuk sebuah komunitas perpustakaan yang khusus
· Daftar-daftar itu mungkin saja sudah kedaluwarsa
· Sebuah perpustakaan mungkin saja mempunyai banyak judul yang tidak tercantum pada daftar pencocokan, namun publikasi itu sarna baiknya dengan yang ada di daftar
· Daftar pencocokan tidak memasukkan materi yang khusus yang sangat penting bagi sebuah perpustakaan tertentu
· Tidak ada salahnya memiliki publikasi yang kurang bermutu

Untuk menjawab berbagai kritik tersebut, daftar pencocokan seharusnya mendaftar semua bahan pustaka untuk semua perpustakaan. Hanya perlu diingat bahwa tidak semua bahan pustaka mempunyai nilai yang sama, atau sama bergunanya untuk sebuah perpustakaan tertentu. Banyak buku-buku lama yang masih sangat berguna bagi pembaca, namun daftar pencocokan yang sudah kedaluwarsa sangat kecil kemungkinannya untuk bermanfaat sebagai sarana untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan.

Hasil pencocokan terhadap sebuah daftar menunjukkan persentase buku-buku dari daftar yang ada dalam koleksi. Tetapi tidak ada standar berapa persen dari daftar pencocokan yang harus ada dalarn koleksi sebuah perpustakaan. Misalkan sebuah perpustakaan memiliki 53% dari buku-buku yang ada pada sebuah daftar pencocokan. Apakah nilai itu sudah memadai, apakah penting untuk memiliki semua buku yang ada di daftar? Membandingkan angka persentase dari daftar untuk kepemilikan sebuah perpustakaan dengan perpustakaan lain kecil manfaatnya, kecuali kedua perpustakaan itu mempunyai populasi yang dilayani yang sarna. Kelemahan teknik pencocokan pada daftar untuk evaluasi koleksi masih terus didiskusikan, namun tetap saja teknik ini bermanfaat bagi perpustakaan dalam mengevaluasi koleksi.

Sayang sekali di Indonesia belum memiliki pangkalan data jaringan perpustakaan yang secara resmi bekerja sama atau bibliografi yang dibuat khusus untuk evaluasi koleksi. Ada juga beberapa pustakawan yang mengumpulkan data katalog dari berbagai perpustakaan, namun data itu merupakan hasil usaha perorangan dan tidak ada kepastian perbaharuan data secara berkala. Salah satu jalan keluarnya, seorang pustakawan dari perpustakaan sejenis menanyakan buku-buku atau jurnal yang seharusnya dimiliki kepada perpustakaan lain yang sudah diketahui umum bahwa badan induknya merupakan sebuah institusi yang bermutu dalarn bidang subjek tertentu. Sebagai contoh, Institut Pertanian Bogor (IPB) sudah diketahui di Indonesia sebagai perguruan tinggi terpercaya dalam bidang pertanian. Bisa terjadi seorang pustakawan dari Fakultas Pertanian universitas lain bertanya kepada pustakawan di IPB buku-buku yang menjadi buku wajib dalam kurikulum di IPB dan jurnal utama yang dilanggan di Perpustakaan IPB. Perbandingan itu bisa dilakukan bila kedua perpustakaan itu sama-­sama perpustakaan perguruan tinggi.

Penilaian Pakar

Metode ini tergantung pada keahlian seseorang untuk melakukan penilaian dan penguasaan terhadap subjek yang dinilai. Dalam metode ini pemeriksaan terhadap koleksi dalam hubungannya dengan kebijakan dan tujuan perpustakaan, dan seberapa baiknya koleksi itu memenuhi tujuan perpustakaan. Prosesnya bisa memerlukan peninjauan terhadap keseluruhan koleksi menggunakan daftar pengrakan (shelflist), bisa terbatas hanya pada satu subjek, itu yang sering terjadi, tetapi bisa juga mencakup berbagai subjek tergantung pada penguasaan pakar tersebut terhadap subjek yang akan dievaluasi. Biasanya metode ini berfokus pada penilaian terhadap kualitas seperti kedalaman koleksi, kegunaannya terkait dengan kurikulum atau penelitian, serta kekurangan dan kekuatan koleksi.

Teknik mengandalkan pada penilaian seorang pakar ini jarang digunakan tanpa dikombinasikan dengan teknik lain. Sering kali pelaku evaluasi yang menggunakan teknik ini merasa tidak cukup bila hanya melihat keadaan di rak. Mereka merasa perlu untuk mendapatkan kesan dari komunitas yang dilayani. Pengumpulan pandangan dari berbagai pengguna bisa dianggap mewakili pandangan komunitas. Dengan dernikian pengguna didorong untuk terlibat dalam proses evaluasi koleksi.

Perbandingan Data Statistik

Perbandingan diantara institusi bermanfaat untuk data evaluasi. Namun ada keterbatasan disebabkan oleh perbedaan institusional dalam tujuan, program-program, dan populasi yang dilayani. Sebagai contoh, perpustakaan yang ada di sebuah sekolah tinggi untuk bidang ilmu tertentu, misalkan ilmu ekonomi, tentunya berbeda dengan perpustakaan yang ada di sebuah universitas yang mempunyai banyak fakultas dengan berbagai bidang ilmu. Dengan hanya menyatakan jumlah koleksi secara kuantitatif, sulit untuk dapat menyatakan kecukupan dari koleksi sebuah perpustakaan. Jumlah judul atau eksemplar saja tidak dapat dijadikan ukuran untuk melihat pertumbuhan koleksi. Tetapi dirasakan penting untuk mengembangkan pendekatan kuantitatif untuk mengevaluasi koleksi yang berguna untuk pengambilan keputusan, tetap dengan cara yang sederhana.

Dengan dimanfaatkannya komputer untuk menyimpan data bibliografi bahan pustaka telah menciptakan sarana evaluasi yang sangat berguna. Di Amerika Serikat sebuah pangkalan data yang meliputi koleksi berbagai perpustakaan yang tergabung dalam sebuah jaringan bernama Washington Library Network (WLN) merupakan sarana evaluasi koleksi yang banyak digunakan. Sebuah perpustakaan bisa membandingkan koleksi yang dimiliki dengan koleksi perpustakaan lain yang tergabung dalam jaringan WLN. Berhubung banyak perpustakaan di Amerika Serikat menggunakan standar klasifikasi Library of Congress, untuk membandingkan koleksi sebuah perpustakaan dengan data yang ada di WLN, data statistik koleksi dibandingkan berdasarkan nomor klasifikasi Library of Congress. Dengan menggunakan pangkalan data jaringan WLN bisa diperoleh data seperti jumlah judul buku yang ada di koleksi sebuah perpustakaan untuk setiap nomor klasifikasi dibandingkan dengan koleksi perpustakaan lain, jumlah judul buku yang hanya dimiliki oleh sebuah perpustakaan untuk setiap nomor klasifikasi, dan berapa jumlah judul buku yang sarna yang ada di koleksi berbagai perpustakaan lain untuk setiap nomor klasifikasi, serta berbagai perbandingan data stastistik koleksi lainnya.

Perbandingan dengan Berbagai Standar Koleksi

Tersedia berbagai standar yang diterbitkan untuk hampir setiap jenis perpustakaan. Standar itu memuat semua aspek dari perpustakaan, termasuk mengenai koleksi. Standar itu ada yang menggunakan pendekatan kuantitatif, ada pula yang menggunakan pendekatan kualitatif Contoh dari standar adalah Standards for College Libraries, antara lain memuat informasi mengenai cara untuk menentukan tingkatan kelas sebuah perpustakaan dalam ukuran koleksi berdasarkan persentase koleksi yang dimiliki dibandingkan dengan ukuran yang ideal. Bila ukuran koleksi sebuah perpustakaan sama atau melebihi dari yang ideal, maka perpustakaan itu mendapat kelas A. Untuk perpustakaan yang ukuran koleksinya di bawah yang ideal mendapat kelas di bawah A. Sebuah contoh standar yang lain, Books for College Libraries menyatakan bahwa sebuah perpustakaan perguruan tinggi yang mempunyai program pendidikan sarjana empat tahun seharusnya mempunyai koleksi minimum 150.000 eksemplar, 20% diantaranya seharusnya terbitan berkala yang sudah dijilid dan sisanya 80% adalah judul-judul monograf

2. Metode Terpusat pada Penggunaan

Melakukan Kajian Sirkulasi

Pengkajian pola penggunaan koleksi sebagai sarana untuk mengevaluasi koleksi semakin populer. Dua asumsi dasar dalam kajian pengguna/penggunaan adalah:
1) kecukupan koleksi buku terkait langsung dengan pemanfaatannya oleh pengguna
2) statistik sirkulasi memberikan gambaran yang layak mewakili penggunaan koleksi

Dengan digunakannya komputer dalam melaksanakan transaksi peminjaman, maka semakin mudah untuk memantau data sirkulasi.

Ada masalah dengan data sirkulasi dikaitkan dengan nilai koleksi, karena data itu tidak termasuk data koleksi yang dibaca di dalam perpustakaan. Beberapa jenis koleksi seperti referens dan jurnal biasanya tidak dipinjarnkan. Jadi data sirkulasi belum mewakili keseluruhan data pemanfaatan koleksi.

Meminta Pendapat Pengguna

Survei untuk mendapatkan data persepsi pengguna tentang kecukupan koleksi baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu data yang sangat berguna dalam program evaluasi koleksi. Hanya perlu diperhatikan keobjektifan dari pengguna dalam menilai kecukupan koleksi dalam memenuhi kebutuhannya. Jangan sampai ketidaktahuan pengguna dalam mencari informasi di perpustakaan mengakibatkan penilaian kurangnya koleksi untuk memenuhi kebutuhan akan informasinya. Begitu juga dengan lemahnya sistem temu kembali bisa mengakibatkan seolah-olah koleksi perpustakaan itu tidak bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Perlu juga diketahui latar belakang pengguna mengapa seseorang mengatakan positif atau negatif tentang koleksi. Tentunya pengguna yang sudah sering menggunakan perpustakaan akan memberikan pendapat yang lebih objektif dibandingkan dengan pengguna yang baru atau bahkan tidak pemah menggunakan perpustakaan. Namun demikian bukan berarti bahwa pengguna atau calon pengguna yang demikian pendapatnya tidak perlu didengar. Penentuan responden secara acak tentunya akan memasukkan semua unsur dalam populasi pengguna, termasuk pengguna potensial (belum menjadi pengguna). Perlu juga ada pertanyaan bagi pengguna potensial mengapa mereka tidak menjadi pengguna perpustakaan, apakah karena koleksinya tidak memenuhi kebutuhan mereka, ataukah karena mereka tidak mengetahui apa yang ada di koleksi perpustakaan? Dengan demikian yang menjadi masalah bukanlah koleksinya, tetapi masalah promosi perpustakaan. Semua itu harus menjadi masukan bagi evaluasi koleksi. Penentuan pertanyaan yang jeli akan menghasilkan kesimpulan yang lebih akurat, menghilangkan kemungkinan kesimpulan yang menyesatkan.

Menganalisis Statistik Pinjam Antar Perpustakaan (Pemanfaatan Perpustakaan Lain)

Bila pengguna sebuah perpustakaan banyak menggunakan perpustakaan lain bisa jadi ada masalah dengan koleksi perpustakaan itu. Namun bisa juga ada hal lain yang menyebabkan penggunanya lebih suka menggunakan perpustakaan lain seperti petugas di perpustakaan lain lebih ramah, pelayanannya lebih baik, keadaan perpustakaannya lebih nyaman, lebih mudah dan cepat menemukan buku di rak, lebih dekat dengan rumah atau kantornya, jam bukanya lebih sesuai dengan waktu yang dimiliki, tempat parkir mobilnya lebih mudah dan aman, dan berbagai alasan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kecukupan koleksi. Tetapi tetap saja ada kemungkinan bahwa sumber dari semua masalah adalah koleksi yang tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna Pustakawan harus mencari informasi mengapa hal itu terjadi dan alasan utama terjadinya penggunaan perpustakaan lain oleh komunitasnya.

Pustakawan pengembangan koleksi juga harus secara berkala memeriksa data pinjam antar perpustakaan, bila pelayanan itu ada. Bila ada buku atau jurnal yang tidak dimiliki perpustakaan, tetapi sering diminta melalui pinjam antar perpustakaan, berarti buku atau jurnal itu mempunyai peminat yang tinggi, sehingga sewajarnya bila buku atau jurnal itu dimiliki oleh perpustakaan. Bila buku atau jurnal itu sudah ada di koleksi, tetapi juga banyak diminta melalui pinjam antar perpustakaan, berarti diperlukan duplikat yang lebih banyak untuk buku tersebut. Untuk jurnal yang biasanya sangat mahal harga berlangganannya, perlu dipikirkan bagaimana sistem baca di tempat yang lebih memberikan kesempatan yang merata kepada pengguna.

Melakukan Kajian Sitiran

Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi koleksi perpustakaan perguruan tinggi dan khusus dengan menggunakan sejumlah contoh dari publikasi penelitian yang sesuai dengan tujuan perpustakaan. Sebagai contoh di perpustakaan perguruan tinggi yang mempunyai program doktor dapat menggunakan disertasi sebagai bahan untuk kajian sitiran. Disertasi merupakan dokumen yang mempunyai nilai paling tinggi dalam perjalanan pendidikan seseorang, dengan demikian bahan pustaka yang dirujuk dalam disertasi dianggap sangat bernilai bagi penulisan disertasi itu, sehingga sangat beralasan untuk dijadikan sarana mengevaluasi koleksi. Kajian sitiran dilakukan dengan mencatat semua bahan pustaka yang dijadikan daftar pustaka pada sejumlah disertasi yang terpilih sebagai contoh. Data itu kemudian dicocokkan dengan data katalog, maka akan diketahui berapa persen dari bahan pustaka yang dirujuk disertasi ada di koleksi perpustakaan. Bila persentase itu kecil berarti koleksi perpustakaan tidak cukup untuk mendukung program doktor yang ada di perguruan tinggi itu. Dapat dikatakan bahwa para mahasiswa program doktor itu lebih banyak menggunakan perpustakaan di luar perpustakaan perguruan tinggi tersebut.

Kajian sitiran tidak terlalu sulit dilakukan, hanya memerlukan ketekunan dan kecermatan yang tinggi, serta jelas menyita waktu yang cukup banyak. Hasil kajian sitiran sebenarnya tidak hanya memberikan data persentase koleksi yang dirujuk, tetapi juga jenis koleksi apa yang banyak digunakan, selang tahun publikasi yang dirujuk, bahkan sampai kepada judul jurnal yang paling banyak dirujuk untuk setiap bidang ilmu dari disertasi tersebut.

Melakukan Kajian Penggunaan Di Tempat (Ruang Baca)

Melengkapi data yang diperoleh pada kajian sirkulasi, kajian terhadap buku dan jurnal yang dibaca di tempat/rnang baca perlu dilakukan. Kajian dapat dilakukan dengan menghitung buku dan jurnal yang ada di meja baca setelah selesai dibaca pengguna pada kurun waktu tertentu. Idealnya buku dan jurnal yang telah selesai dibaca itu dihitung seluruhnya sepanjang tahun. Namun pelaksanaan penghitungan itu akan menghabiskan waktu dan tenaga pustakawan. Oleh karena itu penghitungan dilakukan dengan pengambilan contoh pada waktu-waktu tertentu dan sepanjang kurun waktu tertentu pula. Misalkan ditetapkan pengambilan contoh akan dilakukan untuk kurun waktu tiga bulan, dan dalam satu minggu pengambilan contoh dilakukan selama tiga hari, serta pencatatan dilakukan setiap dua jam.

Pengumpulan data dilakukan dengan menugaskan satu orang atau lebih petugas untuk mencatat banyaknya buku yang dibaca di ruang baca. Minggu pertama dipilih hari Senin, Selasa, dan Rabu petugas mencatat buku-buku yang dibaca pengguna setiap dua jam. Minggu berikutnya dipilih hari Kamis, Jum'at, dan Sabtu untuk melakukan pencatatan buku yang dibaca setiap dua jam, terus berlanjut sampai tiga bulan. Semua data terkumpul itu dijumlahkan, hanya karena pengambilan data dilakukan hanya setengah minggu, jadj untuk mengetahui jumlah data buku yang dibaca di tempat selama tiga bulan angka hasil penjumlahan itu dikalikan dua. Bila ingin dinyatakan data per tahun, maka data jumlah buku yang dibaca di tempat selama tiga bulan tinggal dikalikan empat. Dalam pengumpulan data perlu dipikirkan masa sepi dan ramainya pengguna yang menggunakan perpustakaan. Masa pengambilan data harus mewakili kedua macam pola penggunaan perpustakaan, karena bila data diambil hanya pada masa-masa tingginya penggunaan perpustakaan, angka yang diperoleh akan lebih tinggi dari yang seharusnya. Sebaliknya bila pengumpulan data dilakukan pada masa-masa rendahnya penggunaan perpustakaan, maka angka yang diperoleh akan lebih rendah dari angka yang seharusnya.

Karena tujuan pengumpulan data ini adalah untuk mengevaluasi koleksi, maka tidak cukup hanya mengetahui jumlah buku yang dibaca di tempat. Lebih rinci lagi, mungkin perlu diketahui jumlah buku yang dibaca di tempat berdasarkan nomor klasifikasi. Petugas pengumpul data perlu dibekali tabel yang telah dibagi kolom­-kolomnya menurut nomor kelas dari 0 - 9. Dengan demikian bisa diketahui nomor kelas besar yang mana yang paling banyak digunakan, dan nomor kelas mana yang paling rendah digunakan. Tingginya penggunaan untuk buku-buku kelompok kelas tertentu bisa berarti bahwa pengguna memang membutuhkan informasi dalam subjek itu dan buku-buku yang ada corok dengan kebutuhan pengguna. Sedangkan rendahnya penggunaan kelompok kelas tertentu bisa berarti pengguna kurang membutuhkan informasi untuk subjek tersebut, atau buku-buku yang ada dalam subjek itu tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna. Untuk itu diperlukan data pendapat dari pengguna mengenai koleksi untuk subjek itu.

Untuk mengevaluasi jurnal yang dibaca di tempat diperlukan data judul jurnal yang dibaca oleh pengguna, tidak cukup hanya jumlah nomor jurnal yang dibaca. Bisa terjadi juga jurnal yang banyak dibutuhkan pengguna bahkan tidak dimiliki perpustakaan. Data dari survei kebutuhan pengguna sangat dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan jurnal oleh pengguna perpustakaan.

Memeriksa Ketersediaan Koleksi di Rak

Pustakawan perlu melakukan pengumpulan data mengenai ketersediaan koleksi di rak pada kurun waktu tertentu. Maksud dari pengumpulan data ini untuk mengetahui seberapa tinggi bahan pustaka yang dicari pengguna tersedia di rak koleksi. Bila persentase penemuan tinggi, bisa berarti bahwa koleksi sudah sesuai dengan kebutuhan pengguna. Bila persentase ketidaktersediaan bahan pustaka yang dieari tinggi, ada dua kemugkinannya. Pertama, bahan pustaka itu dimiliki oleh perpustakaan tetapi sedang dipinjam atau dibaca oleh pengguna lain, artinya perpustakaan perlu menambah duplikat bahan pustaka itu. Kedua, bahan pustaka yang dicari memang tidak dimiliki perpustakaan, artinya bila sesuai dengan Kebijakan Pengembangan Koleksi maka bahan pustaka itu perlu diadakan.

Untuk pengumpulan data ini diperlukan petugas khusus untuk melakukannya. Cara pengumpulan data bisa dilakukan seperti yang dilakukan untuk kajian penggunaan koleksi di tempat. Namun untuk mendapatkan data judul-judul bahan pustaka yang banyak diperlukan tetapi belum tersedia di rak bisa dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun. Pengguna diminta untuk menuliskan judul tersebut pada sehelai daftar isian yang akan dikaji oleh pustakawan pengembangan koleksi untuk keputusan pembeliannya.

Evaluasi Terbitan Berkala

Untuk mengevaluasi terbitan berkala, selain menggunakan metode yang telah disebutkan di atas yang berlaku umum, ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat terbitnya yang berbeda dari jenis-jenis bahan pustaka yang lain. Proses evaluasi pada terbitan berkala mencakup:

a) apakah akan melanjutkan atau menghentikan langganan terhadap sebuah judul terbitan berkala
b) apakah akan menambah langganan terhadap sebuah judul terbitan berkala yang belum dimiliki

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah:

· apakah judul itu termasuk dalam banyak jurnal/database indeks/abstrak?
· apakah judul itu sangat relevan dengan kebutuhan pengguna?
· bagaimana ruang lingkup dan isi dari judul itu?
· seberapa tinggi penggooaan judul itu, didukung dengan data penggooaan di perpustakaan dan permintaan silang layan?
· apakah kualitas terbitan berseri itu baik?
· apakah harga langganan judul itu wajar?
· apakah bahasa dan dari negara manakah judul itu?
· apakah judul itu merupakan salah satu judul yang terkait dengan kerjasama pengadaan dengan perpustakaan lain?

D. Penutup

Bila evaluasi koleksi ini ingin dilakukan secara objektif, maka diperlukan serangkaian riset untuk mendukung pengambilan keputusan. Diakui bahwa tugas evaluasi koleksi itu sulit, dan sering kali hasilnya itu subjektif. Jadi seorang pelaksana evaluasi koleksi harus bisa menyatakan apa adanya tentang koleksi. Metode evaluasi koleksi yang tersedia tidak ada yang sempurna untuk dapat digunakan secara tunggal. Oleh karena itu disarankan menggunakan kombinasi beberapa metode, sehingga dapat saling menutupi kekurangan masing-masing metode. Langkah-langkah berikut ini disarankan untuk diambil dalam mengevaluasi koleksi:
1. Mengembangkan seperangkat kriteria ootuk standar nilai dan mutu.
2. Mengambil contoh secara acak dari koleksi dan memeriksa pemanfaatan buku itu.
3. Mengumpulkan data tentang judul-judul yang diinginkan pengguna tetapi tidak tersedia di koleksi perpustakaan.
4. Mengumpulkan datajudul-judul yang dibaca di tempat.
5. Mengumpulkan data dari aktivitas pinjam antar perpustakaan.
6. Mendata berapa banyak bahan pustaka yang usang yang ada dalam koleksi (sebagai contoh, bahan pustaka mengenai ilmu-ilmu dasar/murni yang telah berusia lebih dari 15 tahoo dan tidak termasuk dalam bahan pustaka yang klasik) .
7. Jika sebuah daftar pencocokan (checklist) terkait erat dengan kebutuhan perpustakaan, gunakan daftar itu, tetapi teliti juga apakah daftar itu memang bermanfaat untuk perpustakaan.
8. Kaitkan semua hasil-hasil itu dengan tujuan dan fungsi perpustakaan.
Melakukan evaluasi koleksi memang menyita banyak waktu, tetapi dari hasil evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan koleksi. Dengan data itu, maka staf pengembangan koleksi dapat memformulasikan kembali perencanaan untuk terus memelihara koleksi yang kuat dan memperbaiki koleksi yang lemah. Semua aktivitas evaluasi ini tentunya harus sejalan dengan fungsi dan tujuan perpustakaan, serta kebutuhan komunitas. Bila evaluasi koleksi ini sudah dilakukan secara rutin, akan terasa semakin ringannya tugas ini, terlebih bila diingat bahwa proses ini akan membawa koleksi perpustakaan semakin dekat dengan kebutuhan komunitas yang dilayani.

Daftar Pustaka

_________, 2005. Perpustakaan Perguruan Tinggi : Buku Pedoman. ed. ke 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI. Jakarta.

_________, Collection Evaluation and Weeding. Chapter 6. htto://www.emro.who.int/HIS/VHSL/ Doc/part2/CHAP6.pdf (diambil tgl. 29 September 2006).

Dickstein, Ruth dan Hovendick, Kelly Barrick. 2002. University of Arizona Women's Studies Collection Evaluation. http://oratt.edu/~johnso2/UArizcollectioneval.html (diambil tgl. 29 September 2006).

Evans, G. Edward and Zarnosky, Margaret R. 2000. Developing Library and Information Center Collections. Libraries Unlimited. Englewood, Colorado.

Jenkins, Clare and Morley, Mary (ed.). 1999. Collection Management in Academic Libraries.

Moore, Jo Anne. Guidelines for Collection Evaluation and Weeding. http://www.tea.state.tx.us/technology/libraries/lib_downloads/weedingl.pdf (diambil tgl. 29 September 2006) 2nd ed. Gower Publishing. Hampshire, England.

Sujana, Janti G. dan Yulia, Yuyu. 2006. Modul Pengembangan Koleksi. Universitas Terbuka. Jakarta.

Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Pustaka Utama. Jakarta.

Tuesday, August 22, 2006

SOLUSI PENGADAAN BAHAN PUSTAKA “MINIM DANA”

Oleh:
Noorika Retno Widuri, pustakawan

Koleksi perpustakaan merupakan sumber informasi yang tidak saja menggambarkan hasil karya manusia masa lampau dan masa sekarang, namun juga masa yang akan datang. Bila koleksi perpustakaan dikembangkan tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perpustakaan akan ditinggalkan penggunanya. Tiga pilar pokok perpustakaan adalah koleksi, sumber daya manusia(pustakawan) dan pelayanan. Sehingga ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Koleksi banyak tanpa ada pustakawan, mustahil perpustakaan itu akan berjalan. Pustakawan tanpa koleksi itu berarti tidur panjangnya sebuah perpustakaan, sebab tanpa koleksi tidak akan terjadi pelayanan bagi pengguna.
Masalah pengembangan koleksi di perpustakaan bukan rahasia umum. Tidak tersedianya dana yang memadai untuk membina koleksi bahan pustaka acapkali terjadi. Perpustakaan nyaris tidak mendapat porsi penting bagi unit kerja induk. Namun demikian perpustakaan tidak boleh berhenti sampai disitu. Pustakawan sebagai ujung tombak perpustakaan tidak boleh begitu saja menyerah dengan keadaan. Dalam kondisi demikian profesionalitas pustakawan menjadi taruhannya. Pustakawan harus bergerak dan berusaha mencari koleksi-koleksi yang memungkinkan dimiliki oleh perpustakaan.
Pengadaan bahan pustaka umumnya melalui pembelian, pertukaran(exchange) dan hadiah. Bagi perpustakaan yang miskin dana, pengadaan bahan pustaka melalui pembelian tentu tidak mungkin. Keadaan ini mendorong pustakawan untuk menetapkan prioritas bahan pustaka dan mencari alternative lain dalam mendapatkan bahan pustaka tanpa membeli.
Ada beberapa jalan yang dapat ditempuh agar koleksi bertambah antara lain dengan :
Pusat deposit --- salah satu fungsi perpustakaan merupakan tempat menyimpan hasil karya manusia. Hal ini bisa menjadikan alasan utama bahwa setiap publikasi di lingkungan kerja perpustakaan berkewajiban mendepositkan publikasinya di perpustakaan. Melalui pusat deposit, perpustakaan memungkinkan untuk mendapat tambahan bahan pustaka yang bersifat grey literature atau pustaka kelabu. Setiap unit kerja memiliki kekhasan tersendiri. Misalnya hasil seminar Madrasah, rapat kerja, dan hasil-hasil kegiatan unit kerja lainnya. Koleksi ini bisa didayagunakan bagi kepentingan masyarakat pengguna.
Menjalin kerja sama --- Perpustakaan menjalin kerjasama dengan perpustakaan-perpustakaan lain baik yang sejenis maupun tidak. Kerja sama antar perpustakaan bisa menjadi penengah dalam hal pengadaan koleksi, bilamana perpustakaan yang bekerja sama dengan kita memiliki koleksi yang jauh lebih baik. Peminjaman berjangka waktu, memberikan kesempatan kepada pengguna untuk memanfaatkan koleksi pinjaman sebaik-baiknya.
Tukar --- Bahan pustaka yang dipertukarkan dapat berupa (1)terbitan perpustakaan sendiri misalnya daftar tambahan pustaka, indeks artikel maupun bibliografi (2) publikasi/ terbitan dari unit kerja induk. Misalnya unit kerja induk telah memiliki jurnal yang layak untuk ditukar oleh bahan-bahan pustaka lain yang dimiliki unit kerja/instansi lain.
Hadiah ---Berbagai instansi pemerintah, yayasan, maupun LSM umumnya memiliki publikasi yang bisa diberikan cuma-cuma kepada perpustakaan. Pustakawan sebaiknya pro aktif dalam mencari unit kerja atau instansi atau LSM mana yang dapat menghadiahkan buku-bukunya bagi keperluan perpustakaan. Pendekatan antar unit kerja/instansi mutlak diperlukan, sebab dengan adanya surat resmi dari pejabat perpustakaan akan melancarkan jalan pustakawan dalam memperoleh koleksi cuma-cuma dari instansi yang dituju. Selain itu hadiah juga bisa diberikan bila perpustakaan yang bersangkutan memiliki banyak duplikasi terbitan. Melalui berita acara yang jelas, koleksi-koleksi duplikat ini bisa diberikan kepada perpustakaan lain yang membutuhkan. Demikian pula dengan koleksi yang tidak sesuai dengan subyek yang sesuai dengan perpustakaan. Pada umumnya mereka akan menyeleksi dan menawarkannya pada perpustakaan lain.
Penyiangan koleksi --- Beberapa perpustakaan memiliki kebijakan kegiatan penyiangan koleksi. Pustakawan hendaknya mencari tahu perpustakaan-perpustakaan mana yang akan menyiangi koleksi dan kemudian bisa dimanfaatkan oleh kita. Namun demikian perlu mempertimbangkan jenis koleksi yang sesuai dengan visi dan misi perpustakaan.
Koleksi pribadi ---Cara ini memerlukan pendekatan pribadi, sebab tidak semua kolektor buku akan melepas begitu saja bukunya untuk kepentingan perpustakaan. Kekhawatiran akan buku yang hilang sering kali terjadi. Pustakawan hendaknya meyakinkan kepada orang yang bersangkutan bahwa buku-buku tersebut tidak dipinjamkan atau hanya bisa dibaca ditempat.
Hunting di pameran buku dan bursa buku bekas --- pameran buku biasanya memberikan diskon besar-besaran, kesempatan ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pengelola perpustakaan untuk memborong buku. Demikian pula dengan berburu buku-buku bekas. Buku-buku bekas, tidak selamanya buruk. Pengalaman penulis justru beberapa kali menemukan buku-buku berkualitas di pedagang buku bekas di pinggir-pinggir jalan.

MEMANFAATKAN TEKNOLOGI INFORMASI
Perkembangan teknologi informasi saat ini semakin tidak terbendung. Salah satunya adalah internet. Internet bukan merupakan hal asing bagi perkembangan dunia perpustakaan saat ini. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa tidak semua perpustakaan memiliki fasilitas tersebut. Perpustakaan yang memiliki fasilitas internet bisa men-download artikel atau e-journal maupun e-book yang ada di internet. Tentunya yang ‘free’ atau gratis. Hasil download bisa disimpan dalam bentuk CD yang selain daya tampungnya lebih besar juga praktis karena tidak memakan tempat. Bagaimana bila tidak? Perpustakaan dapat menumpang pada bagian lain yang memilikinya, atau rental di warnet.
Melalui internet, pustakawan juga dapat bergabung dengan mengikuti komunitas di dunia maya atau milis. Melalui milis perpustakaan memiliki peluang untuk mendapatkan koleksi gratis. Beberapa komunitas di dunia maya memberikan kesempatan pada pustakawan untuk menjalin kerjasama dalam bidang apapun, termasuk keterbatasan koleksi.
Tulisan ini hanya bermaksud mengugah, membangunkan pustakawan agar tidak lagi pasif dan patah semangat dalam menghadapi persoalan yang menimpa unit kerja perpustakaan. Banyak terobosan-terobosan yang bisa dikerjakan pustakawan demi memberikan pelayanan terbaik bagi penggunanya. Perpustakaan harus unjuk gigi dulu, jerih payah yang telah kita upayakan pasti bisa mendatangkan hasil. Optimis bahwa usaha kita akan berhasil. Pustakawan merupakan pekerjaan mulia, sebab banyak kegiatan amal sholeh didalamnya. Bukan saja untuk kepentingan dunia, tapi untuk tabungan di akherat kelak.

Monday, July 31, 2006

PERAN IBU DALAM MENANAMKAN BUDAYA BACA DI LINGKUNGAN RUMAH TANGGA

Oleh
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.

Ketika saya kecil (paruh kedua tahun 1960an) Ibu selalu mendongeng untuk mengantarkan saya dan adik-adik tidur. Setiap hari dongengnya selalu berganti. Seakan-akan tak pernah habis. Mulai dari dongeng “kancil mencuri timun” dengan berbagai setting cerita, sampai pada “tikus desa berkunjung ke kota”. Ketika ibu kehabisan bahan untuk mendongeng, ibu akan membacakan cerita dari buku kumpulan dongeng anak-anak. Sesekali kami anak-anaknya bertanya bila ada kata-kata yang tidak kami mengerti. Dan Ibu dengan sabar menjelaskan kata-kata tersebut sampai kami mengerti. Begitulah kami belajar dan mengumpulkan kosa kata. Pada waktunya kosa kata tersebut akan keluar dalam bentuk komunikasi dengan teman-teman kami. Selain itu dongeng itu menjadikan hubungan batin kami anak-anaknya dengan Ibu sangat dekat. Sesudah kami lancar membaca, maka kami dapat membaca sendiri cerita dari buku-buku yang dipinjami Bapak dari perpustakaan sekolahnya. Kebetulan Bapak saya seorang kepala sekolah dasar suatu desa di Madura. Dan setiap waktu tertentu sekolah bapak mendapatkan kiriman buku-buku cerita dari pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kebiasaan membaca inilah kelak yang membantu saya menapaki hidup yang walaupun tidak berlebihan, namun tetap survive di tengah persaingan hidup yang sangat ketat.
Saat ini, mungkin karena kesulitan ekonomi yang tak kunjung mereda, ibu-ibu sudah jarang sekali mendongeng untuk anak-anaknya untuk mengantarkan tidur mereka. Ibu-ibu jaman sekarang harus bekerja untuk membantu meringankan beban keluarga. Mereka kelelahan sesudah seharian bekerja dengan gaji yang tidak pernah cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. Tidak ada waktu lagi untuk sekedar bercanda ria dengan anak-anaknya. Apalagi mendongeng. Apabila terpaksa mendongeng, maka dongeng sang ibu sering kacau karena kalah oleh kantuk, dan sudah tertidur sebelum dongengnya tamat. Padahal anaknya belum tertidur. Anak-anak tidak bisa belajar lagi di rumah. Pendidikan mereka 100 % diserahkan ke sekolah. Padahal di sekolahpun para guru tidak bisa mendidik seperti jaman dulu. Karena guru-guru jaman sekarang mengajar di banyak sekolah untuk sekedar menambal kekurangan gaji mereka supaya dapur para guru itu tetap berasap. Tinggallah anak-anak kita yang jadi korban. Anak-anak lebih banyak berkeliaran di mal-mal. Atau kalaupun ada di rumah, mereka duduk di depan TV menyaksikan tayangan yang penuh dengan kekerasan dan seks. Akibatnya, anak-anak menjadi mudah marah, mudah tersinggung. Puncaknya adalah tawuran antar sekolah. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka bela. Kalau kehormatan sekolah yang dibela, mungkin masih dapat dimengerti. Namun tawuran mereka lebih sering karena alasan iseng saja. Saling mencemooh antar pelajar dan berbuntut saling baku hantam. Bahkan tidak jarang baku bacok.
Kemampuan berkomunikasi merekapun juga kurang baik. Kadang-kadang pikiran mereka lebih cepat dari ucapan mereka. Jangan disuruh mereka menulis. Berbicara saja mereka susah memilih kosa kata, karena memang miskin kosa kata. Mereka tidak pernah terlatih untuk menggunakan banyak kosa kata. Dengarkan jika kebetulan anak muda diwawancara oleh wartawan media elektronik. Jawaban mereka sering meloncat dari satu topik ke topik yang lain. Tidak pernah runtut dalam mengemukakan pendapat. Mengemukakan pikiran yang runtut hanya bisa dilatih dengan cara membaca dan menulis.

Sesungguhnya pendidikan di lingkungan keluarga merupakan kunci dari permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Dan kunci pendidikan di lingkungan keluarga adalah ibu. Jika saja ibu dapat memberikan teladan-teladan yang berasal dari dongeng atau cerita dari buku dongeng anak-anak, maka jiwa anak-anak itu sudah diisi oleh hal-hal yang baik sejak dini. Masalahnya dari mana ibu-ibu tersebut bisa mendapatkan buku cerita supaya dia bisa mendongeng dengan baik. Membeli buku cerita anak bagi keluarga sederhana merupakan sesuatu yang muskil. Bayangkan, untuk satu nomor majalah Bobo saja harganya sama dengan setengah kilogram telur ayam. Padahal satu nomor majalah Bobo mungkin hanya bisa menjadi dua hari untuk bahan mendongeng. Jika anak-anak tersebut sudah bisa membaca sendiri, maka bahan bacaan yang dibutuhkannya akan semakin mahal. Satu nomor majalah Kawanku misalnya akan lebih mahal dari harga satu kilogram telur ayam.
Untuk memenuhi bahan bacaan tersebut, saya teringat pengalaman saya sewaktu berkunjung ke Buin Batu National School. Buin Batu terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya di kawasan pertambangan Newmont Nusa Tenggara. Buin Batu adalah kota kecil yang dari ujung kota yang satu ke ujung yang lain hanya ditempuh selama 30 menit berjalan kaki. Ketika saya mampir di toko kelontong (mini market) di salah satu sudut kota, saya tertarik ke salah satu ruangan yang ada pojok toko tersebut. Disitu ada rak-rak buku dan majalah. Semula saya sangka buku dan majalah yang ada disitu dijual. Karena kebetulan bahan bacaan saya sudah habis terbaca di tempat penginapan dan saya butuh bahan bacaan, saya bermaksud untuk membelinya. Saya masuk ke ruangan tersebut. Namun saya tidak dapati penjaga “toko buku” tersebut. Saya tanya sama security (begitu yang tertulis di topinya). Katanya buku dan majalah itu tidak dijual, tapi dapat dipinjamkan. “Kalau Bapak mau pinjam, silahkan memilih sendiri buku atau majalahnya, kemudian mencatatkan pinjaman Bapak di buku yang ada di sudut ruangan itu.” Kata security itu menjelaskan. Wah… ini baru layanan perpustakaan yang menganut self-service. Layanan seperti ini hanya bisa kita dapatkan di Singapura. Saya mencoba tanya lebih lanjut pada security. Ternyata koleksi “perpustakaan umum” itu berasal dari sumbangan warga Buin Batu. Prinsip mereka adalah sharing koleksi. Jika mereka bisa beli satu, maka mereka dapat membaca banyak. Yang tidak sanggup membelipun dapat membaca banyak. Gotong royong semacam ini dapat dikembangkan di tempat-tempat lain di Indonesia.
Lebih jauh lagi mestinya penyediaan bahan bacaan ini merupakan tanggung jawab Pemerintah. Perpustakaan umum harus diberdayakan. Bahkan mestinya perpustakaan umum ini ditempatkan di pusat keramaian seperti pasar dan swalayan. Dengan demikian ibu-ibu yang lelah sehabis keliling berbelanja di pasar tersebut dapat mampir sejenak untuk memilih bahan bacaan untuk si kecil di rumah. Dalam hal penempatan lokasi perpustakaan umum ini kita patut mencontoh Singapura. Hampir setiap pusat pertokoan di Singapura ada perpustakaan umumnya. Salah satu perpustakaan umum di Singapura berlokasi di pusat perbelanjaan “Takasimaya” yang berlokasi di pusat kota, Orchid Road. Perpustakaan itu penuh dengan pengunjung tua, muda, bahkan anak-anak usia TK/SD yang melakukan aktifitas seperti membaca, melihat-lihat buku, meminjam, dan sebagainya. Di perpustakaan ini juga disediakan kafe dengan kualitas standard semacam McDonald dan Kentucky Fried Chicken, dan setiap beberapa hari perpustakaan juga menyelenggarakan life music di kafenya. Dengan demikian masyarakat yang datang ke perpustakaan juga bisa menikmati makanan yang enak dengan suasana yang enak, serta dapat membaca dengan enak pula. Di perpustakaan ini pendidikan masyarakat dapat dilakukan seperti mendidik berdisiplin dan saling menghargai satu sama lain. Mengambil contoh Singapura tadi misalnya, begitu masuk di pintu utama gedung perpustakaan pengunjung sudah diingatkan dengan etika ke perpustakaan atau library etiket. Peringatan tersebut digambar di lantai seperti matikan handphone dan pager, Jangan berbicara keras, Jangan berdiskusi di perpustakaan. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan pustaka ada peringatan seperti Perlakukan pustaka dengan baik, kembalikan ke tempat semula atau ke keranjang pengembalian untuk kenyamanan pembaca lain, dan lain-lain. Disini masyarakat dibiasakan untuk mematuhi etika dan peraturan yang diberlakukan di perpustakaan. Juga dibiasakan untuk menghargai hak-hak orang lain. Misalnya jangan berbicara keras, karena bisa mengganggu kenyamanan orang lain; mematikan telepon genggamnya supaya tidak mengganggu kenyamanan orang lain dan sebagainya. Jika kebiasaan ini dapat berimbas kepada kehidupan mereka di luar perpustakaan, alangkah indahnya dan nyamannya kita beraktifitas sehari-hari. Tidak ada supir yang berhenti seenaknya; tidak ada orang yang menyerobot antrian di kasir pasar swalayan, di bank-bank dan ATM; tidak ada pejabat yang sibuk menerima panggilan telepon genggam padahal ia sedang menghadiri rapat penting, dan lain-lain.
Perpustakaan juga dapat mendidik masyarakat untuk berperilaku halus yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan rekreasi yang bisa mengasah perasaan mereka seperti buku-buku sastra, novel, cerpen dan lain-lain. Lihat masyarakat sekarang yang cenderung brutal. Tidak terkecuali kalangan terpelajar seperti mahasiswa dan pelajar. Tanyakan kepada mereka, apakah dia sering membaca dan apa bacaannya. Saya yakin mereka tidak pernah atau jarang sekali membaca. Kalaupun membaca, saya yakin bacaan mereka adalah bacaan yang tidak bermutu yang banyak beredar di sekitar kita, seperti koran-koran kriminal, perkosaan, perampokan, penodongan, pelecehan seksual dan lain-lain yang justru menjadi pemicu kekerasan dan bahkan mengarahkan ke perilaku jahat. Jika perpustakaan dapat menyediakan bacaan bermutu dengan suasana yang nyaman, maka masyarakat mempunyai pilihan untuk mendapatkan informasi. Dengan kesibukan membaca maka para mahasiswa dan pelajar tidak punya waktu lagi untuk bergerombol dan “kongkow-kongkow” dan kemudian saling mengganggu dan tawuran.Kembali ke peran Ibu di rumah tangga, marilah pada kesempatan hari Ibu ini kita berdayakan Ibu-ibu disekitar kita. Jika ibu dapat mendidik anak-anaknya dengan baik saya percaya bahwa generasi bangsa Indonesia kedepan akan lebih baik. Karena itu berilah Ibu-ibu itu bahan untuk memberi teladan yang baik-baik kepada anaknya melalui dongeng-dongeng yang dapat mengantarkan anaknya tertidur dengan mimpi-mimpi indah.